Pagi yang cerah, berbagai suara binatang terdengar dari sudut-sudut kampung, seakan membangunkan manusia untuk segera bertebaran di muka bumi .
“Alhamdulillah ya Allah… Engkau masih memberikan nikmat untuk menghirup kembali udara segar kampung ini”, kata Maman
“Lima tahun sudah aku ditugaskan negara untuk mengabdi di pedalaman Pulau Borneo ini”, gumam Maman sambil memandangi lukisan payung geulis yang dia bawa dari Tasikmalaya, kampung halamannya, ketika ditugaskan sebagai guru dalam Program Indonesia Mengajar. Program tersebut bertujuan untuk menurunkan angka buta aksara di daerah-daerah terjauh, terpencil, dan terluar Indonesia.
“Hai Pak Guru… hari ini sekolah nggak?” tanya Amrin, salah satu murid Maman yang berusia 10 tahun.>
“Sekolah dong nak……. ayo kita pergi bareng”, jawab Maman.
“Pak Guru….. kenapa setiap pagi Bapak selalu membawa bibit kayu untuk ditanam di lahan-lahan kosong, bukankah penduduk di sini selalu merusak pohon yang telah Bapak tanam?” tanya Amrin.
“Nggak apa-apa nak… bukankah kita harus menjaga bumi ini… kalau kita menjaga bumi ini maka bumipun akan menjaga kita”, jawab Maman.
“Iya Pak, di dalam buku yang pernah saya baca kalau kita menanam pohon maka kita tidak akan kekurangan air… tapi kenapa hanya Bapak yang menanam pohon tersebut? bukankah keuntungannya juga dirasakan oleh banyak orang?” tanya Amrin.
“Kamu memang anak pintar Nak…. dalam berbuat kebaikan kita harus memulai dari diri sendiri, memulai dengan hal-hal kecil, dan memulai dari sekarang”, kata Maman.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, mereka menanam pohon di lahan kosong.
“Kemana teman-temanmu Nak?” tanya Maman sambil melirik ke arah Amrin setibanya di dalam kelas yang berdinding papan, beralaskan tanah, dan beratapkan daun alang-alang kering. Maman heran karena biasanya ada sekitar tujuh orang murid yang selalu hadir di kelasnya.
“Mereka… “, kata Amrin ragu.
Belum selesai Amrin menjelaskan, tiba-tiba pintu kelas ditendang.
“Hai Amrin ayo pulang….. ayo bekerja di ladang… darimana kita mendapatkan uang kalau kamu hanya belajar seharian di sini…. buang-buang waktu”, teriak Hunggul sambil menyeret Amrin ke luar kelas.
“Nggak mau…. Amrin mau sekolah biar pintar”, teriak Amrin.
“Dasar anak nggak tahu diri!” kata Hunggul.
Maman segera menghampiri orang tua Amrin
“Sebentar Pak…..”, kata Maman
“Sebentar… sebentar… gara-gara kamu, anak-anak kami jadi malas bekerja, mereka lebih memilih belajar di kelas ini. Kamu telah meracuni mereka dengan buku-buku bacaan sesat”, kata Mardi yang merupakan salah satu orang tua murid Maman lainnya.
Maman berpikir sejenak, kejadian ini selalu berulang setiap musim tanam tiba.
“Kalau begitu…. saya meminta izin kepada Bapak dan Ibu untuk memindahkan waktu belajar di malam hari supaya tidak menganggu waktu bekerja anak-anak di ladang”, kata Maman sambil memandang warga yang datang ke sekolahnya.
“Tidak bisa…….”, kata Mardi.
“Tutup… tutup…”, kata warga yang tetap bersikeras ingin menutup sekolah.
“Tidak….. sekolah ini jangan ditutup, bukankah dia sudah memberikan solusi dengan memindahkan waktu belajar”, kata Hunggul membela Maman.
“Dasar penghianat…..”, kata Mardi sambil mendorong tubuh Hunggul dan mengajak rekan-rekannya untuk membubarkan diri sambil berteriak “Tutup… tutup”.
Semenjak kejadian tersebut, Amrin adalah satu-satunya murid yang tetap belajar dengan Maman. Akan tetapi, keenam murid lainnya pun sering datang ke rumahnya secara sembunyi-sembunyi meminta buku untuk dibaca di ladang.
------
“Pak Guru… Pak Guru….. cepat bangun”, kata Hunggul dan Amrin sambil menggoyangkan tubuh Maman.
“Ada apa ini?” tanya Maman heran.
“Sekolah kita ada yang membakar Pak!” kata Amrin sambil menangis.
“Hah sekolah kita ada yang membakar?” kata Maman. Dia segera berlari untuk memadamkan api. Tetapi usaha mereka sia-sia karena seluruh bangunan sekolah yang telah Maman bangun dari hasil jerih payahnya sendiri telah rata dengan tanah begitu pun dengan buku-buku pelajarannya.
“Maafkan saya Pak Guru… saya menyesal telah memprovokasi masyarakat untuk menutup sekolah ketika itu”, kata Hunggul.
“Bagaimana kalau kita cari tahu pelakunya?” kata Amrin.
“Tidak usah Nak. Nanti kamu belajar di rumah bapak saja”, kata Maman.
“Ah Bapak ini selalu mengalah. Sekali-kali kita harus melawan, biar dia tahu rasa”, kata Amrin.
Mereka bertiga kembali menuju rumah Maman dengan wajah murung. Setibanya di rumah, Maman sangat kaget ketika mendapati keenam muridnya yang lain sudah berkumpul di teras rumahnya.
“Pak Guru… apa yang bisa kami bantu?” tanya keenam muridnya.
“Nggak ada nak…… tenang saja… kalian bisa tetap membaca buku di ladang. Mudahan-mudahan bulan depan bapak bisa membelikan buku bacaan di pusat kota”, kata Pak Maman.
“Hei… ayo kalian cepat pergi… kalau sampai ketahuan orang tua kalian, urusannya nanti jadi ribet”, kata Hunggul.
Sebelum keenam anak tersebut beranjak, Mardi dan warga kampung terlihat berdatangan menuju ke rumah Maman.
Melihat kedatangan Mardi, Hunggul segera berdiri.
“Hai Mardi….. apa yang kamu mau?” bentak Hunggul.
“Apakah kamu belum puas dengan membakar sekolah yang telah membuat anak kalian menjadi pintar membaca dan menulis?” kata Hunggul .
“Pak Guru, aku minta maaf… aku mengaku salah karena telah membakar sekolah dan selalu membuat kalian menderita”, kata Mardi
“Sekali lagi, aku minta maaf”, kata Mardi sambil memeluk Maman, Hunggul, dan Amrin.
Maman, Hunggul, Amrin, dan keenam murid lainnya merasa heran melihat perubahan sikap Mardi. Ketika semuanya masih dalam kondisi serba heran, ada seseorang yang datang menghampiri mereka. Dia adalah kepala suku kampung tersebut yang baru kembali dari daerah yang jauh untuk mengurus urusan pribadinya selama 4 tahun.
“Tadi, Pak Mardi dan warga menemuiku di rumah untuk mengadukan perilaku Pak Guru”, kata kepala suku membuka pembicaraan.
Kepala suku itu menjelaskan bahwa dia tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan oleh Mardi dan warga terhadap Pak Guru. Dia memerintahkan kepada Mardi dan warga untuk segera minta maaf kepada Pak Guru.
“Saudara-saudara semuanya, perlu kalian ketahui bahwa Pak Guru ini sangat besar jasanya bagi kampung kita karena selain mendidik anak-anak kita, dia bersama muridnya juga telah menghijaukan kembali lahan-lahan kritis tanpa kenal lelah”, kata kepala suku.
“Pak Maman telah mengajari kita semua tentang arti sebuah dedikasi untuk negeri ini. Dia rela mengorbankan segalanya agar anak-anak kita pintar dan peduli terhadap lingkungan. Kita harus mendukungnya”, tegas kepala suku.
Setelah kejadian tersebut, warga kampung bergotong royong mendirikan sekolah dan mengizinkan anak-anaknya untuk belajar membaca dan menulis. Selain itu, warga yang sudah tergerak hatinya, melakukan penghijauan kembali lahan-lahan kritis menjadi lahan yang hijau dan produktif. Berkat dedikasi Pak Guru Maman, kampung tersebut memperoleh penghargaan dari Presiden Republik Indonesia sebagai kampung bebas buta aksara dan lingkungan terbersih tingkat nasional.
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.