-->
  • Kajian Ontologi, Epistemologi, dan aksiologi Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan

      

    Hutan Rakyat di Desa Cukangkawung Kecamatan Sodonghilir
               
    A. Ontologi

    Ontologi merupakan bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat (Chasanah, 2017; Rahmadani & Karneli, 2021). Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang ada sehingga membuahkan pengetahuan (Bahrun, 2013). Selain itu, ontologi juga merupakan pertanyaan mengenai bagaimanakah bentuk dan sifat dari realitas serta apa yang dapat diketahui dari hal tersebut (Erwin, 2016; Jumanto, 2020). Sederhananya, Halik (2020) menyimpulkan bahwa ontologi merupakan teori tentang ada sebagai objek kajian filsafat, baik yang pasti ada maupun yang mungkin ada.

    Objek kajian ontologi meliputi ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal sehingga ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Istilah ontologi ini lebih banyak digunakan ketika membahas yang ada dan yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu (Mahfud, 2018; Ramadhani, 2015)

    Berdasarkan definisi tentang ontologi yang telah dikemukakan maka diperlukan sebuah pendefinisian tentang hutan. Hutan merupakan masyarakat tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan di luar hutan dan membentuk suatu ekosistem. Pendefinisian hutan tersebut merupakan dasar untuk mengemukakan pengertian dari hutan rakyat. Hutan menurut UU No 5 tahun 1967 yang kemudian diganti dengan UU No 41 tahun 1999 dikelompokan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara merupakan hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani atas hak milik sedangkan hutan milik adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani atas hak (Hardjanto, 2017). Berdasarkan pengelompokan tersebut maka hutan rakyat termasuk kepada hutan milik.

    Hutan rakyat menurut Peraturan Menteri Kehutanan P. 03/Menhut-V/2004 didefiniskan sebagai hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani atas hak milik atau hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 persen serta jumlah tanaman lebih dari 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat juga didefiniskan sebagai hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran, baik yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah (Kurniawan et al., 2020). Selain itu, Hardjanto (2017) mendefinisikan hutan rakyat sebagai hutan yang didominasi oleh pepohonan, dibangun dan dikelola secara keseluruhan oleh rakyat, dan berada di tanah milik rakyat atau masyarakat adat dengan tidak membatasi luasan dan jumlah minimal pohon yang ditanam. Sejalan dengan Harjanto, Winarno (2007) mengemukakan bahwa hutan rakyat merupakan suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang kepemilikannya berada pada rakyat.

    Pengelolaan hutan rakyat secara berkelanjutan merupakan salah satu bentuk implementasi dari sistem pembangunan berkelanjutan. Terdapat tiga pilar utama pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Nur’aini et al., 2020; Salampessy et al., 2017; Widayanto et al., 2018). Ketiga pilar tersebut merupakan sebuah kesatuan yang saling berhubungan erat dan saling menguatkan. Oleh karena itu pengelolaan hutan rakyat harus

    Ontologi hutan rakyat menempatkan aspek flora, fauna, ekosistem, dan manusia sebagai satu kesatuan sistem pengelolaan hutan yang saling berkaitan erat. Berdasarkan hal tersebut maka semua dimensi pengelolaan yang terdiri dari dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi harus dijadikan sebagai satu kesatuan yang tidak bisa berdiri sendiri (Awang, 2008). Hal ini akan menjadikan pijakan utama dalam kajian epistemologi dan aksiologi pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.


    B. Epistemologi

    Istilah epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Dengan demikian, epistemologi secara etimologi berarti teori pengetahuan (Habaora et al., 2020). Rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis untuk mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan, dan epistemologi merupakan disiplin ilmu (Chasanah, 2017). Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan (Bahrun, 2013; Rahmadani & Karneli, 2021). Selain itu, epistemologi adalah cara mendapatkan pengetahuan yang benar yang merupakan kelanjutan yang tak terpisahkan dari ontologi (Dasuki, 2019; Madjid, 2011).

    Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan, yaitu pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif, dan pendekatan kualitatif-kuantitatif. Penggunaan pendekatan dalam sebuah penelitian sangat tergantung kepada tujuan yang ingin dijawab dalam penelitian tersebut.

    Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang didasarkan kepada filsafat postpositivisme dalam melakukan proses penelitian yang bersifat induktif menggunakan metode wawancara, observasi, kajian kepustakaan, evaluasi, histroris, studi kasus, atau etnografi (Sugiyono, 2006). Terdapat beberapa karakteristik pendekatan kualitatif (Irawan, 2006), yaitu mengkontruksi realitas makna sosial budaya, meneliti interaksi peristiwa dan proses, melibatkan variable-variabel yang kompleks dan sulit diukur, memiliki keterkaitan erat dengan konteks, melibatkan peneliti secara penuh, memiliki latar belakang alamiah (naturalistic), menggunakan sampel purposif, menerapkan analisis induktif, mengutamakan makna di balik realitas, dan mengajukan pertanyaan “mengapa” (why) bukan “apa” (what).

    Teori yang dijadikan sebagai dasar utama pada penelitian kualitatif terdiri dari (1) fenomenologi yang lebih menekankan aspek subjektif dari tingkah laku manusia, (2) etnografi yang berusaha untuk menjelaskan suatu budaya atau aspek dari budaya, (3) interaksi simbolistik yang memberikan perhatian lebih kepada pengalaman manusia untuk memperoleh makna dari suatu peristiwa, (4) etnometodologi yang meneliti proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari, dan (5) konstruktivisme yang mencoba untuk menangkap apa yang terdapat dalam benak subjek kemudian mengkontruksikannya menjadi sebuah konsep ilmu pengetahuan (Irawan, 2006).

    Pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang didasarkan kepada filsafat positivisme dalam melakukan proses penelitian yang bersifat deduktif (eksplanatoris, deskriptif, atau eksplanatif) dengan menggunakan metode survey atau eksperimen (Sugiyono, 2006). Adapun karakteristik pendekatan kuantitatif diantaranya permasalahan penelitian terbatas dan sempit, mengikuti pola berpikir deduktif, mempercayai statistik atau matematika sebagai instrumen untuk menjelaskan kebenaran, dan membangun validitas internal dan validitas eksternal sebaik mungkin (Irawan, 2006).

    Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini memiliki tradisi yang jauh lebih tua dibandingkan pendekatan kualitatif yang relatif lebih baru. Adapun teori-teori yang dapat dijadikan pijakan utama dalam melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif diantaranya teori positivisme, strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, sibernetik-kognitivisme, gestalt, dan konektivisme (Irawan, 2006).

    Pendekatan kualitatif-kuantitatif atau sering disebut sebagai pendekatan penelitian campuran merupakan pendekatan yang relatif lebih baru dibandingkan dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Pendekatan penelitian ini mengombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan kuantitatif untuk menyelesaikan masalah penelitian sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliabel, dan objektif (Sugiyono, 2006). Penggabungan kedua pendekatan ini ditujukan untuk menggabungkan kelebihan dari masing-masing metode untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan penelitian dan menjawab pertanyaan dalam penelitian. Pendekatan ini berfokus pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif yang dipadukan. Oleh karena itu, pendekatan ini terdiri dari penggabungan, perpaduan, hubungan, dan kelekatan dari keduanya (Sugiyono, 2006).


    3. Aksiologi

    Aksiologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang asas tujuan pemanfaatan pengetahuan atau cabang filsafat yang menyelidiki hakikat nilai, yang ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Chasanah, 2017). Aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Bahrun, 2013; Rahmadani & Karneli, 2021). Secara bahasa aksiologi berasal dari perkataan axios (bahasa Yunani) yang berarti nilai, dan kata logos yang berarti teori, jadi aksiologi mengandung pengertian teori tentang nilai. Secara umum, aksiologi dapat diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Dasuki, 2019).

    Terdapat tiga manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan, yaitu manfaat sosial, manfaat ekonomi, dan manfaat ekologi. Pengelolaan hutan rakyat di Indonesia harus menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). Manfaat sosial dari penerapan pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka peluang berusaha, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting hutan, menjadi bentuk peran serta aktif masyarakat dalam melakukan mitigasi perubahan iklim, memperat interaksi antara masyarakat dengan alam, dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat akan kayu bakar dan pertukangan. Manfaat ekonomi penerapan pengetahuan pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan yaitu memberikan tambahan penghasilan untuk masyarakat dan memberikan jaminan pendapatan yang berjenjang untuk petani pada pengelolaan hutan rakyat pola agroforestry. Secara ekologi, penerapan pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan memberikan sumbangsih kepada usaha konservasi tanah dan air, menghasilkan iklim mikro, mengurangi terjadinya kerusakan hutan, keanekaragaman hayati, dan menanggulangi pemanasan global atau mitigasi perubahan iklim.

    Selain itu, penerapan ilmu pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kehutanan terutama yang berhubungan dengan kajian komprehensif yang melibatkan semua dimensi keberlanjutan (sosial, ekonomi, dan lingkungan) dalam pengelolaan hutan rakyat di Indonesia.

     

     

    DAFTAR PUSTAKA

     

    Awang, S. A. (2008). Deforestrasi dan kontruksi pengetahuan pembangunan hutan berbasis masyarakat.

    Bahrun. (2013). akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Sulesana, 8(2), 35–45.

    Chasanah, U. (2017). Ontologi, epistemologi dan aksiologi pendidikan. Tasyri, 24(1), 76–91.

    Dasuki, M. R. (2019). Tigas aspek utama dalam kajian filsafat ilmu. Seminar Nasional Bahasa Dan Sasra Indonesia, 1(1), 81–85.

    Erwin, M. (2016). Hak atas ruang hidup Suku Rimba. Jurnal Hukum, 41(4), 307–317.

    Habaora, F., Riwukore, J. R., Adiwibowo, S., & Susanto, Y. (2020). Falsafah sains ekologi Fritjqf Capra dan relevansinya dengan kearifan lokal. Jurnal Kebudayaan, 15(1), 41–52.

    Halik, A. (2020). Ilmu pendidikan islam: perspektif ontologi, epistemologi, aksiologi. Jurnal Istiqra, 7(2), 10–24.

    Hardjanto. (2017). Buku Pengelolaan Hutan Rakyat.pdf (R. D. Waldi (ed.); 1st ed.). IPB Press.

    Irawan, P. (2006). Penelitian kuantitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial (Ainzs (ed.); 1st ed.). Penerbit DIA FISIP UI.

    Jumanto. (2020). Sebuah kasus eksperimen: tinjauan filosofis. Jurnal Serat Acitya, 1(1), 115–151.

    Kurniawan, A., Wasiq Hidayat, J., & Amirudin. (2020). Challenges of private forests management in Cluwak sub-district, Pati regency, Indonesia. E3S Web of Conferences, 202. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202020206013

    Madjid, U. (2011). Ilmu administrasi ditinjau dari aspek ontologi epistemologi dan aksiologi. 5(3), 374–394.

    Mahfud. (2018). Mengenal ontologi, epistemologi, aksiologi dalam pendidikan islam. Jurnal Cendekia, 4(1), 82–96.

    Nur’aini, H., Zuhud, E. A. M., & Sunarminto, T. (2020). Conservation of Damar Mata Kucing (Shorea javanica): A Review on the Aspect of Trade System. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 26(3), 316–324. https://doi.org/10.7226/JTFM.26.3.316

    Rahmadani, R., & Karneli, Y. (2021). Ontologi , epistemologi , aksiologi dalam psikologi konseling. Jurnal Pendidikan Tambusai, 5(1), 859–862.

    Ramadhani, M. (2015). Ontologi, epistomologi & aksiologi.

    Salampessy, M. L., Febryano, I. G., & Zulfiani, D. (2017). Bound by debt: Nutmeg trees and changing relations between farmers and agents in a moluccan agroforestry systems. Forest and Society, 1(2), 137–143. https://doi.org/10.24259/fs.v1i2.1718

    Sugiyono. (2006). Metode penelitian kualitatif, kuantitatif dan R&D (1st ed.). Penerbit Alfabeta.

    Widayanto, B., Karsidi, R., Kusnandar, & Sutrisno, J. (2018). Relationship of various factors affecting the sustainable private forest management at Pajangan District, Special Regions Yogyakarta, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 129(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/129/1/012042

  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment

    Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.