Malam semakin larut, jarum jam menunjukkan pukul 01.00, suasana begitu hening dan sepi hanya terdengar suara denting tiang listrik di kejauhan yang dipukul petugas jaga malam yang sedang berkeliling memastikan wilayahnya aman dari pencuri.
Agus meminum kopi hitam kegemarannya untuk mengurangi rasa kantuk yang mulai menggelayuti matanya, ia begitu bersemangat untuk menyelesaikan lukisannya pada malam itu karena akan dikirimkan kepada panitia penyelenggara pameran lukisan di Galeri Nasional Jakarta keesokan harinya. Pameran itu merupakan impian bagi semua pelukis amatir seperti dirinya.
Keikutsertaan dalam pameran tersebut diyakini akan memberikan kesempatan yang lebar bagi dirinya untuk menjadi seorang pelukis profesional seperti pelukis kenamaan Indonesia, Affandi Koesoema, yang memiliki gaya lukisan ekspresionis dan romantismenya yang khas. Agus sering memimpikan dirinya menjadi seorang Affandi di masa depan yang namanya terkenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
“Apiii… api… api….”, orang-orang berteriak dengan panik.
“Gus… bangun Gus…. ada kebakaran!!!” teriak ayahnya Agus sambil menggedor pintu kamar dengan keras.
Agus yang baru saja tertidur beberapa saat sangat kaget mendengar teriakan itu, jantungnya berdetak sangat kencang. Ia segera melompat dari ranjang untuk membuka kunci pintu kamar. Dirinya sempat akan terjatuh ke lantai tetapi beruntung bapaknya yang berada di depan pintu kamar dengan sigap meraih tangannya.
Udara terasa sangat panas. Asap tebal menghalangi pandangan mereka untuk menemukan pintu keluar rumah. Hal ini semakin diperparah dengan banyak reruntuhan kayu atap rumah yang mulai habis dilahap si jago merah.
“Alhamdulillah keluarga kita selamat”, tangis ibunya ketika melihat Agus dan bapaknya berhasil keluar rumah.
Agus melihat api berkobar sangat besar. Api itu melahap apapun yang dilewatinya.
“Astaghfirullah… ampun Agus lupa”, kata Agus sambil berlari masuk kembali ke dalam rumah yang mulai terbakar pada bagian belakangnya. Teriakan orang tuanya tidak ia hiraukan, pikiran Agus hanya tertuju kepada sebuah kunci sukses untuk menggapai cita-cita besarnya yaitu lukisan yang baru ia selesaikan malam itu.
Agus menerobos kobaran api yang melahap rumahnya dengan cepat. Asap pekat yang memenuhi paru-parunya tidak ia pedulikan, matanya hanya tertuju kepada lukisan yang berada di pojok kamarnya. Ketika tangannya berhasil meraih lukisan tersebut, tiba-tiba sebongkah
kayu menghantam tubuhnya sehingga seketika itu juga Agus kehilangan kesadaran.
--oo0oo--
Agus secara perlahan-lahan membuka matanya ketika ia mendengar suara sendu ibunya sedang membaca Alquran. Ia merasa heran saat melihat benda-benda di sekelilingnya yang serba putih dan asing baginya.
“Di manakah aku?” batin Agus
“Bu…. bu…. bu….”, kata Agus berusaha memanggil ibunya dengan suara yang sangat lemah. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan panas.
“Shadaqallahuladzim”, kata Ibu Agus, Fatimah, mengakhiri bacaan Alqurannya.
Agus berusaha menggerakan kedua tangannya berulangkali untuk memberikan isyarat kepada ibunya. Akan tetapi, usahanya ini tidak memberikan hasil karena kedua tangannya tidak bisa digerakan dan mati rasa. Agus mencoba menggerakan kedua kakinya. Fatimah yang melihat kaki anaknya bergerak-gerak segera menghampiri anak sulungnya itu yang sudah berhari-hari dalam keadaan koma.
“Alhamdulillah segala puji bagi Allah, akhirnya kamu sadar Nak”, teriak Fatimah dengan gembira dan segera menghubungi suaminya melalui gawai miliknya.
“Bu… Agus kenapa?” tanya Agus dengan suara lirih.
“Waktu itu kamu tertimpa kayu Nak, untung bapak dan tetangga kita segera membawamu ke rumah sakit ini. Sekujur tubuhmu terbakar”, terang Fatimah.
“Rumah kita bagaimana Bu? okh iya Bu, lukisan Agus mana?”
“Sudahlah Gus jangan banyak pikiran yang penting semua keluarga kita selamat”, kata Bapaknya Agus, Muchsin, yang baru datang.
“Iya Gus yang penting kamu sehat dulu”, kata Fatimah.
Hari demi hari, kesehatan Agus berangsur-angsur membaik. Luka bakarnya mulai mengering, tetapi ia merasa heran karena kedua tangannya tetap tidak bisa digerakan dan tidak merasakan apapun.
Setelah dua minggu di rumah sakit, dokterpun mengijinkan Agus pulang. Dokter membuka perban yang membalut kedua tangan Agus. Agus sangat terkejut ketika melihat kedua tangannya telah diamputasi sampai siku.
“Tidak….tidak … kenapa tangan Agus jadi begini?” teriak remaja berumur 16 tahun itu.
“Bagaimana Agus bisa melukis kalau tangan Agus seperti ini? Allah tidak sayang sama Agus”, teriaknya sambil menangis. Air matanya menganak sungai, ia merasa harapannya pupus dan masa depannya menjadi gelap.
“Ibu… Ibu… lebih baik Agus mati saja kalau begini, Agus mau jadi pelukis”.
“Sabar Nak… ini adalah takdir Allah”, kata Muchsin berusaha menenangkan putranya.
“Bapak ini… sabar… sabar… sekarang kesempatan Agus untuk menjadi pelukis terkenal hilang sudah, Bapak tidak merasakan apa yang Agus rasakan”, kata Agus semakin berang.
Fatimah tidak dapat berkata-kata. Ia hanya berusaha menenangkan Agus dengan memeluknya karena ia tahu menasihati orang yang sedang emosi seperti menyiramkan bensin di atas api, bukannya padam malah makin membesar.
Perlahan Agus mulai tenang, tinggal isak tangisnya yang terdengar perlahan. Muchsin beserta keluarganya meninggalkan rumah sakit menuju kampung halamannya di Tasikmalaya karena di Jakarta mereka sudah tidak punya apa-apa.
Di Tasikmalaya, kehidupan keluarga Muchsin berangsur normal kembali berkat dukungan dari keluarga besarnya. Kebahagian ini tidak dirasakan oleh anak sulungnya, Agus, selain tidak mau lagi bersekolah, semakin hari Aguspun semakin murung dan tidak bergairah lagi dalam menjalani hidup. Terkadang Agus menangis, berteriak-teriak histeris, dan menghancurkan berbagai barang yang ada di hadapannya.
Berbagai upaya telah dilakukan Muchsin dan keluarga besarnya untuk menyembuhkan kondisi mental Agus. Selain membawanya ke beberapa psikolog terkenal di Kota Tasikmalaya, mereka juga senantiasa meminta pertolongan Allah supaya Agus diberi keridhoan dan keikhlasan menerima keadaannya.
---oo0oo---
Suatu pagi yang cerah, Agus sedang duduk di depan jendela kamarnya menikmati hijaunya pemandangan, gemericik air di sungai, dan suara burung pipit yang menghadirkan orkesta alami yang begitu indah.
Berulangkali Agus menarik nafas panjang seolah-olah ingin melepaskan beban berat yang menggelayuti perasaannya. Agus menoleh ke arah adik perempuan semata wayangnya yang tiba-tiba masuk dan tengkurap di kasur sambil memainkan gawainya.
“Kamu liat apa Dek? serius banget”, tanya Agus.
“Lusi lagi lihat ini, coba dech Kakak lihat… tapi jangan marah ya kak”, katanya sambil memberikan gawainya kepada Agus dengan perasaan takut. Semenjak peristiwa kebakaran itu, Agus berubah menjadi pemarah dan mudah tersinggung.
Tidak seperti biasanya, Agus sangat antusias melihat tayangan video di salah satu di youtube yang ditunjukan oleh adiknya. Sinar matanya yang selama ini sudah meredup tiba-tiba bersinar kembali, menyalakan optimisme hidupnya yang selama ini hilang.
Lusi segera menghubungi bapaknya yang masih berada di kantor, memberitahukan
keinginan kakaknya untuk dibelikan peralatan melukis. Muchsin sangat senang mendengar kabar dari Lusi dan segera membelikan satu paket perlengkapan melukis tersebut ketika pulang dari kantor.
“Untuk apa membelikan alat lukis baru ini, Pak! bukankah Agus tidak punya tangan, mau pakai apa Agus melukisnya?” kata Fatimah heran ketika melihat suaminya pulang dari kantor membawa satu dus besar yang berisi alat-alat lukis.
“Bapak juga tidak tahu Bu! kita lihat saja apa yang mau dilakukannya”.
“Bagaimana kalau nanti dirusak lagi, kan cuma buang-buang uang saja”.
“Tidak apa-apa Bu…… sudah ada keinginan untuk melukispun, itu pertanda baik yang harus kita syukuri”, jawab Muchsin.
“Iya Pak… itu merupakan jawaban Allah atas doa-doa yang kita panjatkan selama ini”.
“Iya Bu kita doakan saja semoga putera kita kembali seperti sediakala”.
---oo0oo---
Sejak Agus melihat video di youtube yang menayangkan pelukis asal Malang Jawa Timur, Sadikin, menggunakan kaki untuk melukis, timbul harapan dalam diri Agus untuk mewujudkan cita-citanya sebagai pelukis terkenal yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
“Kalau Pak Sadikin bisa… akupun pasti bisa”, tekad Agus dalam hatinya.
Pertama kali Agus mencoba melukis, jari-jari kakinya gemetaran dan terasa kaku karena harus berusaha menjepit kuas lukisnya sehingga gambar yang dihasilkannyapun jauh dari harapan.
“Aku payah… payah…” kata Agus sambil menendang dan menginjak-injak alat lukisnya sampai berantakan. Kuasnya patah, kanvasnya robek, dan cat minyaknya tumpah memenuhi lantai. Kejadian ini terus berulang setiap Agus mencoba untuk melukis dengan kakinya.
Fatimah tidak pernah marah dan senantiasa bersabar dalam menghadapi tingkah laku puteranya. Ia menyadari bahwa semuanya itu merupakan sebuah proses untuk mengembalikan kepercayaan diri anaknya dalam melukis.
Diam-diam, Agus memperhatikan perilaku ibunya yang selalu bersabar dan tidak pernah satu kalipun marah dengan segala tingkah laku dirinya. Agus penasaran dan menanyakan hal itu kepada ibunya. Fatimah hanya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.
“Tidak apa-apa Nak… Ibu sangat ikhlas melakukan apapun asal kamu bahagia karena
sesungguhnya yang ibu lakukan tidak sebanding dengan apa yang telah kamu alami”, kata Fatimah sambil membelai kepala Agus.
“Ibu tahu.. kamu jau….h lebih menderita dibandingkan kami, kamu harus kehilangan impian untuk menjadi pelukis besar. Kehilangan harapan itu lebih sakit Nak karena tanpa harapan manusia tidak akan bisa hidup. Semua ini adalah takdir Allah yang harus kita jalani sebagai orang beriman. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan orang yang diberi ujian”, lanjut Fatimah.
“Iya Bu… semuanya sudah terjadi kita hanya sekedar berusaha untuk menjalaninya. Kata Aa Gym, nasib Agus ini seperti nasi yang telah menjadi bubur. Kita tidak perlu lagi mengingat nasinya tetapi harus berusaha untuk menjadikan bubur tersebut lebih bermakna sehingga enak untuk dinikmati”, kata Agus antusias.
“Betul kamu pintar Nak…. kamu harus yakin, kamu pasti bisa melukis menggunakan kaki… ayo jangan menyerah.. kamu harus sabar menjalani setiap prosesnya”, kata Fatimah.
“Iya Kak… semua itu perlu proses… kan yang instan itu cuma mie”, kata Lusi menimpali.
“Sok tahu kamu…”, kata Agus sambil melemparkan bantal kursi kepada adiknya menggunakan kakinya.
Mulai saat itu, Agus rajin berlatih tanpa kenal lelah. Agus menjalani prosesnya dengan sabar seperti bumi yang tidak pernah mengeluh ketika Allah menugaskannya mengelilingi matahari sampai akhir dunia. Pelan tapi pasti, usaha Agus mulai memperlihatkan hasil, lukisan yang dihasilkannya semakin bagus dan sangat mirip dengan lukisan sang idola, Affandi. Lusi selalu meng-upload lukisan kakaknya di berbagai media sosial seperti youtube, twitter, facebook, instagram, dan sebagainya.
Netizen memberikan apresiasi yang sangat luar biasa terhadap proses kerja keras Agus, ditandai dengan angka yang menyentuh 20 juta subscriber di youtube, komentar bernada kekaguman, dan jutaan like di berbagai media sosial. Selain itu, tidak sedikit netizen yang membeli lukisan Agus secara online.
Agus sudah menjadi pelukis terkenal di kalangan pecinta karya seni dalam waktu singkat. Undangan untuk mengikuti talkshow dan pameran datang dari mana-mana termasuk dari panitia penyelenggara pameran lukisan nasional yang diadakan oleh Galeri Seni Nasional di Jakarta yang sangat diidam-idamkan oleh Agus selama ini.
Allah-pun memberikan rezeki yang tidak pernah dapat diduga sebelumnya. Sekarang, Agus tercatat sebagai anggota AMPA (Association of Mouth and Foot Painting Artist) di Swiss mewakili Indonesia. Agus harus mengirimkan 15 lukisan setiap tahunnya untuk distandarisasi oleh AMPA sehingga lukisan tersebut memiliki kualitas bertaraf internasional dan bernilai ekonomi tinggi.
Keluarga Pak Sadikin sangat bangga dengan pencapaian Agus yang bukan hanya mengharumkan keluarganya tapi juga telah mampu mengharumkan Indonesia di dunia internasional. Tidak henti-hentinya mereka bersyukur dengan anugerah Allah untuk mereka.
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.