Friday, October 29, 2021

Perjalanan Terjal dan Panjang Kebijakan Perhutanan Sosial


A. Paradoks Pengelolaan Hutan di Indonesia

Fungsi ekologis hutan merupakan fitrah utama keberadaan hutan dalam kehidupan umat manusia. Fungsi ekologis hutan diantaranya menyediakan udara bersih bagi manusia, menjaga keseimbangan siklus air, dan mempertahanankan keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Hutan berperan sebagai regulator iklim di bumi yang menjamin terjadinya keseimbangan siklus air dan udara untuk keberlangsungan hidup umat manusia (Budi, 2017; Nurrochmat & Abdulah, 2017). 

Selain berfungsi ekologis, hutan juga memiliki fungsi ekonomi yang sangat berlimpah dalam bentuk hasil hutan kayu atau bukan kayu. Beberapa diantara fungsi ekonomi hutan diantaranya hutan mampu memberikan sumbangan untuk devisa negara, terutama di bidang industry kayu dan non kayu, dan menghasilkan bahan-bahan bernilai ekonomi lainnya seperti damar, terpentein, kayu putih, rotan, bamboo, bahan obat-obatan, dan bahan kosmetik (Budi, 2017).

Sejalan dengan waktu. Hutan yang sangat “sexy” secara ekonomi mulai menarik perhatian berbagai pihak untuk mengeksplorasi hutan dengan berbagai cara termasuk dengan memengaruhi kebijakan pengelolaan hutan yang dikeluarkan oleh negara. Akan tetapi, kebijakan tersebut cenderung lebih memihak kepada pemilik modal daripada masyarakat desa yang berada di sekitar hutan yang sebenarnya sangat menggantungkan kehidupannya kepada sumber daya hutan.

Ketidakmampuan negara dalam mengakomodir aspirasi masyarakat desa hutan telah mendorong berbagai pihak menuntut diberikannya “hak kelola ruang” hutan untuk masyarakat, terutama masyarakat yang berada di kawasan hutan. Tarik ulur kepentingan (yang didominasi oleh pemodal melalui aktor di panggung politik) dalam tahapan perumusan dan penetapan kebijakan pengelolaan hutan menyebabkan terjadinya gesekan berkepanjangan dalam implementasi di lapangan.

Indonesia sebagai negara dengan luasan hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brazil dan Kongo, memiliki potensi ekonomi dan keragamanan hayati yang sangat tinggi meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen mamalia, dan 16 persen spesies burung (Achmaliadi et al., 2001). Kekayaan alam yang terkandung pada hutan di Indonesia berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di dalam atau sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya dengan hutan. 

Paradoks tersebut menimbulkan permasalahan yang hampir sama dengan negara “berhutan” lainnya yaitu terjadinya konflik sosial antara negara sebagai pemilik dan pengelola hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan. Hakim et al. (2010) menyebutkan terjadinya konflik sosial dalam pengelolaan hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan, masih terbatasnya hak akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, dan masih terjadinya konflik tenurial yang berakhir dengan penyerobotan lahan.

C. Gerakan Sosial Terhadap Hak Akses dan Kelola Hutan 

Terjadinya ketimpangan sosial dalam pengelolaan hutan telah mendorong parapihak untuk berperan aktif dalam memperjuangkan diberikannya hak akses dan kelola hutan untuk masyarakat di dalam atau sekitar kawasan hutan oleh negara melalui berbagai gerakan sosial. Gerakan sosial pertama untuk menuntut pemberiaan hak kelola dan akses masyarakat terhadap hutan dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1974 dan terus berlangsung sampai dilaksanakannya kongres kehutanan dunia di Jakarta pada tahun 1978 dengan mengangkat topik utama forest for people

Gerakan sosial tersebut berlangsung secara terus-menerus berlangsung dengan melibatkan berbagai aktivis lingkungan, dan masyarakat. Desakan masyarakat, mahasiswa, dan penggiat lingkungan tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk menerbitkan berbagai kebijakan pengelolaan hutan yang mengakomodir keterlibatan masyarakat dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Program pemberdayaan masyarakat tersebut sering diistilahkan sebagai perhutanan sosial.

D. Kebijakan Perhutanan Sosial di Indonesia

Terdapat beberapa kebijakan yang berhubungan dengan perhutanan sosial di Indonesia. Pada tulisan ini hanya dibahas perkembangan kebijakan perhutanan sosial hanya pada kurun waktu 21 tahun yaitu mulai tahun 1995 yang merupakan kebijakan awal tentang hutan kemasyarakatan sampai dengan sekarang (tahun 2021).

Tahun 1995. Hutan kemasyarakatan (HKM) merupakan program pertama pemerintah yang menjadi titik awal sejarah perhutanan sosial di Indonesia (Ekawati et al., 2020). Hutan kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatannya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan cara masyarakat diberikan izin pengelolaan sebagian sumberdaya hutan sesuai dengan rambu-rambu kebijakan yang telah ditetapkan (Rosalia & Ratnasari, 2016).

Perhutanan sosial melalui program hutan kemasyarakatan menjadi pertanda dimulainya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari sepenuhnya dikelola oleh negara ke arah pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sekitar hutan (Suradireja et al., 2019). Kebijakan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tersebut dituangkan dalam kebijakan berupa Keputusan Menteri Kehutanan No 622/Kpts-II/1995 tentang pedoman pelaksanaan hutan kemasyarakatan dalam mengakomodir keterlibatan masyarakat untuk berperan serta secara aktif pada pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung.

Tahun 1997. Pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang diatur oleh Kepmen Kehutanan No 622/Kpts-II/1995 belum memberikan hak akses dan hak kelola kepada masyarakat. Masyarakat hanya diperkenankan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk di hutan produksi serta HHBK di hutan lindung. Oleh karena itu, pemerintah melakukan beberapa poin perbaikan dengan merevisi Kepment Kehutanan No 622/Kpts-II/1995 menjadi Kepmen Kehutanan No 677/Kpts-II/1997 yang mengatur pemberian hak akses dan hak kelola hutan melalui lembaga koperasi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm).

Tahun 1999. Terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan mendorong pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Perkebunan untuk melakukan penyesuaian aturan hutan kemasyarakatan dengan mengeluarkan Kepmenhutbun No 865/Kpts-II/1999 untuk menggantikan Kepmenhutbun No 622/Kpts-II/1995.

Tahun 2001. Pada tahun ini, terjadi pembaharuan kebijakan hutan kemasyarakatan yaitu dengan mengeluarkan keputusan menteri kehutanan No 31/Kpts-II/2001 yang mengatur penetapan wilayah pengelolaan HKm yang didasarkan pada hasil inventarisasi dan identifikasi sumber daya hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan (Suradireja et al., 2019).>Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Selain mengatur tentang inventarisasi dan identifikasi sumber daya, kebijakan yang dikeluarkan pada tahun ini juga mengatur tentang program pembenahan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan HKm dan perubahan izin pemanfaatan menjadi kegiatan Hutan Kemasyarakatan yang diterbitkan oleh bupati/walikota.

Tahun 2007. Diterbitkan permenhut No 37/Menhut-II/2007 yang merupakan penyesuaian peraturan hutan kemasyarakatan sebagai respon dengan terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan PP No 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolan serta perencanaan hutan. Permenhut No 37/Menhut-II/2007 merupakan landasan pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang bertahan dalam waktu yang lama.

Suradireja et al. (2019) mengemukakan permenhut ini mengakomodir ruh UU tentang pemerintah daerah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan, inventarisir, dan identifikasi kawasan hutan untuk selanjutnya ditetapkan oleh menteri kehutanan. Penetapan oleh Menteri dilakukan setelah dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi yang beranggotan eselon 1 lingkup departemen kehutanan dengan dikoordinatori oleh Kepala Badan Planologi Kementerian Kehutanan. Pada kebijakan ini juga mulai diperkenalkan istilah izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHK) sebagai izin untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Tahun 2009. Terjadi perubahan kesatu permenhut No 37/Menhut-II/2007 dengan melakukan penyempurnaan melalui terbitnya permenhut No 18/Menhut-II/2009 tentang pemberian tugas kepada Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagai penanggung jawab tim verifikasi atas usulan penetapan pelaksanaan hutan kemasyarakatan di kawasan hutan negara. Pada permenhut ini tidak dilakukan perubahan substansi permenhut No 37/Menhut-II/2007 kecuali tentang penanggung jawab tim verifikasi.

Tahun 2010. Pemerintah memandang perlu untuk melakukan percepatan, penyederhanaan dan efisiensi dalam proses perizinan hutan kemasyarakatan dengan melakukan perubahan kedua atas permenhut No 37/Menhut-II/2007 melalui dikeluarkannya permenhut No 13/Menhut-II/2010 sebagai penyesuaian terhadap diberlakukannya PP No 3 tahun 2008 (pengganti PP No 6 tahun 2007). Pada permen ini mulai diberikan kewenangan kepada UPT lingkup Dirjen RLPS (Eselon 3), eselon 1, dan pemerintah daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan kemasyarakatan. Hal mendasar dalam permen ini yaitu mulai dibukannya partisipasi masyarakat untuk mengajukan permohonan tentang area kerja hutan kemasyarakatan (Suradireja et al., 2019).

Tahun 2011. Kementerian Kehutanan melakukan perubahan ketiga atas permenhut No 37/Menhut-II/2007 dengan permenhut No 52/Menhut-II/2011. Hal ini dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian terhadap calon pemegang izin pada areal hutan kemasyarakatan yang telah ditetapkan oleh menteri dengan mencantumkan nama-nama pemohon yang diketahui oleh camat dan atau kepala desa tempat asal pemohon.

Tahun 2014. Pemerintah mengganti permenhut No 37/Menhut-II/2007, permenhut No 18/Menhut-II/2009, permenhut No 13/Menhut-II/2010, dan permenhut No 52/Menhut-II/2011 menjadi permenhut No 88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Perubahan kebijakan ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan dan pengelolaan hutan kemasyarakatan. Selain itu, pemerintah melalui permenhut No 88 tahun 2010 memberikan peluang sebesar-besarnya terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, dan penyelesaian konflik sosial melalui hutan kemasyarakatan (Suradireja et al., 2019).

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diwajibkan untuk mencadangkan areal yang berada di wilayahnya untuk dijadikan sebagai areal perhutanan sosial dengan mengacu kepada peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi dalam pemanfaatan hasil hutan kayu. Kewajiban KPH dalam mencadangkan areal HKm dalam permenhut ini merupakan kelanjutan dari permenhut No 52 tahun 2011.

Tahun 2016. Terjadi perubahan kebijakan yang mendasar terhadap permenhut No 88 tahun 2014. Hal ini dikarenakan telah diundangkannya UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang menarik kewenangan bidang kehutanan, pertambangan, dan perikanan dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi yang berimplikasi terhadap pelaksanaan permenhut No 88 tahun 2014. 

Permenhut No 88 tahun 2014 (yang secara substansi memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam hutan kemasyarakatan) secara otomatis tidak dapat dijalankan sepenuhnya (Suradireja et al., 2019). Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri kehutanan dan lingkungan hidup No P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial atau sering disingkat sebagai P.83/16.

Peraturan Menteri LHK ini merupakan awal dicantumkannya nama perhutanan sosial sebagai sebuah kebijakan pemerintah. Hutan kemasyarakatan sebagai ruh kebijakan perhutanan sosial dijadikan sebagai salah satu skema perhutanan sosial. Peraturan menteri ini merupakan salah satu tonggak awal keberhasilan perjuangan para pegiat perhutanaan sosial dalam memengaruhi perkembangan kebijakan kehutanan yang menempatkan masyarakat sebagai bagian penting dalam pembangunan kehutanan di Indonesia.

Terdapat lima skema perhutanan sosial di Indonesia, terdiri dari (1) skema Hutan Desa (HD) yaitu hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat di desa bersangkutan, (2) skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu hutan negara yang pemanfaatannya diutamakan untuk memberdayakan masyarakat di dalam atau di sekitar kawasan huta, (3) skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (HTR/IPHPS) yaitu hutan tanaman pada yang dibangun oleh kelompok masyarakat di kawasan hutan produksi untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan, (4) skema Hutan Adat (HA) untuk hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat, dan (5) skema Kemitraan Kehutanan yang dijalankan atas dasar kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan (Firdaus, 2018; Jamalulail & Hakim, 2020; Laksemi et al., 2019).

Tahun 2021. Pasca diterbitkannya Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau sering disebut sebagai UUCK sebagai bentuk penyederhaan dan efisiensi peraturan perundang-undangan di Indonesia maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah sebagai turunan dari UUCK tersebut. 

Terdapat tiga peraturan pemerintah yang berhubungan dengan kehutanan dan lingkungan hidup yaitu PP No 22 tentang penyelenggaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, PP No 23 tentang penyelenggaraan kehutanan, dan PP No 24 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda admistratif.

PP No 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan dengan jelas menyebutkan istilah perhutanan sosial dalam Bab VI tentang pengelolaan perhutanan sosial. Hal ini merupakan lompatan besar perkembangan perhutanan sosial sebagai salah satu arus utama dalam kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia. 

Terbitnya PP No 23 tahun 2021 merupakan catatan sejarah yang sangat penting dalam sejarah kebijakan perhutanan sosial di Indonesia. Hal ini dikarenakan PP No 23 tersebut memberikan masyarakat sebuah ruang akses dan ruang kelola untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan di Indonesia.

Implementasi terhadap PP No 23 tahun 2021 memerlukan peraturan turunan untuk menerjemahkan secara lebih operasional tentang pokok-pokok pelaksanaan perhutanan sosial. Oleh karena itu, Kementerian LHK mengeluarkan Permen LHK No 9 tahun 2021 tentang perhutanan sosial.

Sejarah panjang kebijakan perhutanan sosial di Indonesia ini menandakan bahwa pemberian hak akses dan hak kelola hutan kepada masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang harus direspon dan diakomodir oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat di sekitar hutan harus dijadikan sebagai subjek pembangunan kehutanan Indonesia untuk mewujudkan pembangunan kehutanan Indonesia yang berkelanjutan. 

Pembangunan kehutanan berkelanjutan ditujukan untuk dapat menguntungkan secara secara ekonomi, dapat diterima oleh seluruh masyarakat secara sosial, dan dapat menjaga kelestarian lingkungan secara ekologi. Hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Catatan: Video diperoleh dari kanal youtube Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

 

Achmaliadi, R., Adi, M., Hadiano, M., Kartodihardjo, H., Fachrurozi, Malley, C. H., Mampioper, D. A., Manurung, E. G. T., Nababan, A., Pangkali, L. P., & Ruwindrijarto, A. (2001). Keadaan Hutan Indonesia (Emily Martheus (ed.); 1st ed.). Forest Watch Indonesia - Global Forest Watch.

Budi, H. P. (2017). Penyedia Kebutuhan Air Bagi Masyarakat Di. Vealuasi Ekonomi Penyediaan Kebutuhan Air Bagi Masyrakat, vol 5nomor(ISSN:2302-2019), 127–136.

Ekawati, S., Suharti, S., & Anwar, S. (2020). Bersama Membangun Perhutanan Sosial (Issue 13). www.ipbpress.com

Firdaus. (2018). Panduan Praktis Penerapan Kebijakan Perhutanan Sosial. Panduan Praktis Penerapan Kebijakan Perhutanan Sosial. https://doi.org/10.17528/cifor/006856

Hakim, I., Irawanti, S., Murniati, Sumarhani, Widiarti, A., Effendi, R., Muslich, M., & Ruliaty, S. (2010). Social forestry : menuju restorasi pembangunan kehutanan berkelanjutan (S. Anwar & I. Hakim (eds.)). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

Jamalulail, I., & Hakim, L. (2020). Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Jurnal Politikom Indonesiana, 5(1), 13–24. https://journal.unsika.ac.id/index.php/politikomindonesiana/article/view/3727

Laksemi, N. P. S. T., Sulistyawati, E., & . M. (2019). Sustainable Social Forestry in Bali (A Case Study at Hutan Desa Wanagiri). Jurnal Sylva Lestari, 7(2), 150. https://doi.org/10.23960/jsl27150-163

Nurrochmat, D. R., & Abdulah, L. (2017). Memanfaatkan Hutan, Mengurangi Emisi. In Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan: Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan (Vol. 1, Issue 1, p. 18). https://doi.org/10.20957/jkebijakan.v1i1.10274

Rosalia, F., & Ratnasari, Y. (2016). Analisis Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 30 Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung Tahun 2010. Sosiohumaniora, 18(1), 34–38. https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v18i1.9354

Suradireja, D., Hakim, E. R., Markum, Pramaria, A., & Santoso, W. J. (2019). Catatan sejarah yang jangan dilupakan. http://pskl.menlhk.go.id/artikel/181-cacatan-sejarah-yang-jangan-dilupakan.html

 

No comments:

Post a Comment

Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.