A. Pendahuluan
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan YME yang unik dan komplek karena manusia diciptakan dengan dibekali dua substansi yang bersifat terpadu dan tidak bisa terpisahkan diantara keduanya. Substansi tersebut adalah substansi yang bersifat fisik (raga atau tubuh jasmani) dan substansi psikis (jiwa atau kejiwaaan atau ruhani) (Aryati, 2018; Hamalia, 2015; Saleh, 2014).
Keterpaduan yang erat di antara kedua substansi yang dimiliki manusia merupakan satu kesatuan yang erat sehingga melahirkan sebuah identitas yang melekat pada diri manusia yang berbeda diantara satu dengan yang lainnya. Kehilangan salah satu dari kedua substansi penting tersebut akan menghilangkan karakteristiknya sebagai manusia, sehingga tidak bisa disebut sebagai manusia.
Berpisahnya substansi fisik dan psikis pada manusia terjadi setelah kematian. Setelah mengalami kematian, tubuh yang terbujur kaku sudah tidak bisa lagi disebut sebagai manusia karena sudah kehilangan substansi psikisnya yang berfungsi sebagai energi untuk menggerakkan tubuh fisik. Begitupun dengan jiwa yang pergi tidak bisa dikatakan sebagai manusia karena tidak memiliki lagi wadah untuk mewujudkan aspek kemanusiannya (Nawawi, 2010).Keterpaduan diantara kedua substansi (psikis dan fisik) tersebut menjadikan manusia menjadi makhluk yang unik dan kompleks. Keunikan tersebut dikarenakan manusia memiliki dorongan keingintahuan yang sangat besar. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh oleh makhluk lain di muka bumi ini. Dorongan keinginthaun itu senantiasa didukung oleh energi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk dijadikan sebagai alat untuk mencari dan menemukan kebenaran yang berguna untuk kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Energi tersebut merupakan energi psikologis (Nawawi, 2010).
Keberadaan energi psikologis menjadi faktor pendorong manusia untuk selalu berpikir, berproses, dan bergerak untuk mencari dan menemukan kebenaran, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang dari satu masa ke masa yang lainnya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka memunculkan sebuah pertanyaan yang sangat penting untuk dikaji yaitu bagaimanakah penerapan energi psikologis dalam filsafat ilmu dan pengembangan ilmu pengetahuan?. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis penerapan energi psikologis dalam filsafat ilmu dan pengembangan ilmu pengetahuan.
B. Energi Psikologis
Energi psikologis merupakan kemampuan mental (psikologis) untuk menggerakkan organ tubuh manusia khususnya otak dalam berpikir untuk menggali dan menemukan kebenaran. Energi psikologis juga merupakan faktor pembeda utama antara manusia dengan makhluk lainnya dalam mewujudkan hakikat kemanusiannnya (Nawawi, 2010).
Selain itu, menurut Fahrurozi (2010) energi psikologis dapat definisikan sebagai energi yang dapat membantu seseorang untuk mengembangkan potensi-potensi dalam melakukan transformasi, memperhalus sensitifitas dan mengoptimalkan petunjuk dari dalam diri untuk mencari dan mewujudkan kebenaran. Berdasarkan energi psikologis yang dimiliki manusia maka terdapat tiga sumber kebenaran yang dapat diperoleh oleh manusia, yaitu kebenaran agama, kebenaran filsafat, dan kebenaran ilmu.
Kebenaran agama merupakan kebenaran yang bersifat absolut, yg benar dari dalam dirinya dan karena dirinya sendiri merupakan kebenaran yg tetap benar sepanjang masa. Sumber kebenarannya adalah Yang Maha Benar, yang tidak pernah salah atau keliru dalam memberitahukan tentang kebenaran sesuatu. Kebenaran ini merupakan kebenaran yang bersumber dari wahyu dan lazimnya disebut sebagai agama wahyu, agama samawi, agama langit atau agama profetis yang diturunkan melalui perantaraan seorang utusan.
Ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab permasalahan-pemasalahan tertentu dan filsafat memberikan solusinya. Untuk permasalahan-permasalahan tertentu filsafat tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka manusia mencari jawaban yang pasti dengan berpaling kepada agama. Agama merupakan segenap kepercayaan, ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Nawawi, 2010; Wiharto, 2005).
Kebenaran filsafat merupakan kebenaran yang diperoleh dari hasil perenungan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dan memadai. Perenungan kefilsafatan bertujuan untuk memahami dunia tempat hidup dan memahami diri sendiri. Perenungan kefilsafatan tidak berusaha menemukan fakta, tetapi menerimanya dari mereka yang menemukan fakta tersebut. Fakta diuji dengan mengajukan kritik atas makna yang dikandung suatu fakta dan menarik kesimpulan umum atas fakta tersebut (Wiharto, 2005).
Kebenaran ilmu pengetahuan tidak absolut, artinya kebenaran tersebut diterima selama tidak ada fakta yang menolak kebenarannya. Pengetahuan ilmiah harus teruji atau sesuai dengan fakta empiris. Pengetahuan ilmiah memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan pengetahuan yang tidak sesuai dengan fakta. Sifat teruji diperoleh dengan berpikir induktif (Nawawi, 2010; Wiharto, 2005).
Terdapat tiga domain dalam energi psikologis yang dapat dipergunakan untuk menemukan kebenaran (Nawawi, 2010), yaitu:
(1) Energi kognitif
Manusia adalah makhluk satu-satunya yg mampu berpikir untuk mencari dan membuktikan sebuah kebenaran. energi kognitif ini mencakup (a) pengetahuan, (b) pemahaman, (c) kemampuan menganalisis, d) mensintesis, (e) mengaplikasikan dan (f) mengevaluasi. Semua energi itu disebut kecerdasan intelektual atau kemampuan mental atau kemampuan berpikir yang memungkinkan manusia berfilsafat.
(2) Energi afektif
Manusia memiliki kendali berupa kecerdasan emosional sebagai kesadaran dlm mengendalikan emosi diri dan memahami emosi orang lain sehingga mampu memotivasi diri, memotivasi orang lain, dan bertenggang rasa yang memungkinkannya bekerjasama atau saling menghargai dalam mencari kebenaran yang dipahami bersama.
(3) Energi psikomotorik
Manusia dalam menggunakan kemampuan mental (berpikir dan beremosi) selalu dapat melakukan gerak fisik (motorik) secara profesional sesuai dgn tingkat kemampuan mentalnya. Dlm penguasaan dan penggunaan ilmu sebagai kebenaran tampak berupa perilaku unskill, skill, ahli/profesional, spesialis dan super spesialis. Energi psikis sebagai kemampuan mental berupa pikiran dan perasaan yg menghasilkan dan mengendalikan kegiatan psikomotorik terdiri dari cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yg menghasilkan ilmu dan teknologi.
C. Filsafat Ilmu
Perkembangan, pertumbuhan, dan penguatan ilmu telah menimbulkan persoalan-persoalan yang berada di luar minat, kesempatan, atau jangkauan dari para ilmuwan sendiri untuk menyelesaikannya. Namun, ada sebagian cedekiawan dengan pemikiran yang reflektif telah berusaha menemukan penyelesaian untuk masalah tersebut. Para cendekiawan ini disebut sebagai filsuf. Hasil pemikiran para filsuf mengenai ilmu secara filosofis merupakan filsafat ilmu atau philosophy of science (Darwis & Tantu, 2016).
Darwis & Tantu (2016) berpendapat bahwa berdasarkan definisi filsafat ilmu yang disampaikan oleh para filsuf seperti Robert Ackermann, Lewis White Beck, Cornelius Benjamin, Michael V. Berry, dan Antony Flew maka filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Adapun landasan ilmu tersebut diantaranya konsep-konsep pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis dan ukuran-ukuran kebenaran ilmiah.
Filsuf Rudolf Carnap memakai istilah science of science untuk mendefiniskan filsafat ilmu sebagai analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, dan sejarah ilmu, sehingga filsafat ilmu dapat diartikan juga sebagai suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dengan ilmu pengetahuan (Darwis & Tantu, 2016).
Selain itu, John Macmurray mengemukakan bahwa filsafat ilmu terutama bersangkutan dengan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi ilmu sehingga filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penilaian para filsuf tentang ilmu itu sendiri (Hidayat, 2018).
Fungsi filsafat ilmu memberi landasan filosofis untuk memahami berbagai konsep dan teori disiplin ilmu maupun membekali kemampuan membangun teori ilmiah. Menurut Frans Magnis Suseno, fungsi filsafat ilmu sangat luas dan mendalam, yaitu sebagai berikut (Tamrin, 2019):
(1) untuk membantu mendalami pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu atau asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya secara sistematis dan historis. Secara sistematis, filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk mendalami masalah-masalah ilmu, manusia, tentang hakikat kebenaran secara mendalam dan ilmiah. Secara historis, di sini kita belajar untuk mendalami dan menanggapi serta belajar dari jawaban-jawaban filosof terkemuka,
(2) sebagai kritik ideologi artinya kemampuan menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi agama, ideologi, dan pandangan dunia,
(3) sebagai dasar metode dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam mempelajari studi-studi ilmu khusus,
(4) merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual pada umumnya dan khususnya di lingkungan akademis,
(5) memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan analisis dan kritis tajam untuk bergulat dengan masalah-masalah intelektual, spiritual, dan ideologis.
D. Ilmu dan Pengetahuan
Pengertian ilmu berasal dari kata bahasa Arab ‘ilm, yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Ilmu mengacu kepada suatu hal yang melebihi pengetahuan (Fadli, 2021). Dalam bahasa Inggris disebut science, Belanda watenchap, dan Jerman wissenchaf. Ilmu merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia di dunia supaya dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan diri serta mengangkat eksistensinya.
Ilmu merupakan kegiatan akal budi untuk menjelaskan kenyataan empiris secara spesifik menurut tiga kriteria utama: rasional, metodis, dan sistematis. Istilah rasional, bisa dikatakan bahwa apa yang diklaim oleh suatu ilmu sebagai kebenaran dapat diterima karena masuk akal, yakni logis, kritis, dan terbuka untuk perbaikan (Fadli, 2021).
Selain itu, Harre mendefinisikan ilmu sebagai kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan pola teratur ataupun tidak teratur diantara fenomena yang dipelajari secara hati-hati (Tamrin, 2019).
Berbeda dengan ilmu, pengetahuan merupakan segenap hasil dari kegiatan untuk mengetahui sesuatu obyek (dapat berupa suatu hal atau peristiwa yang dialami subyek), misalnya: pengetahuan tentang benda, tentang tumbuh-tumbuhan, tentang binatang, tentang manusia, atau pengetahuan tentang peristiwa (Wahana, 2016).
Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berpikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak (Makhmudah, 2018).
Berdasarkan penjelasan tentang ilmu dan pengetahuan, maka ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang bisa diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode, dan sistem tertentu. Ilmu pengetahuan bisa diciptakan manusia karena didorong oleh rasa ingin tahu manusia yang tidak berkesudahan terhadap objek, pikiran, atau akal budi yang menyangsikan kesaksian indera, karena indera dianggap sering menipu.
Ilmu pengetahuan bagi manusia mempunyai kemungkinan untuk mencapai pengetahuan yang lebih sempurna daripada pengetahuan biasa, yang lebih tinggi derajatnya yang hendak memberikan pemahaman yang mendalam (Fadli, 2021; Mandailing, 2013). Selain itu, ilmu pengetahuan juga merupakan sebuah pengetahuan yang cara mendapatkannya dilakukan dengan langkah-langkah tertentu.
Langkah-langkah tertentu tersebut menghasilkan berbagai ragam ilmu pengetahuan yang terdiri dari ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dan ilmu pengetahuan sosial (social sciences). Keduanya tidak selalu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah manusia dan keterbatasan inilah yang memerlukan bantuan filsafat (Amiruddin, 2013; Wiharto, 2005).
Secara umum, ilmu pengetahuan merupakan suatu pengetahuan tentang objek tertentu yang disusun secara sistematis, objektif, rasional, dan empiris sehingga tidak semua pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan.
Pengetahuan yang menjadi ilmu pengetahuan harus memiliki karakteristik khusus. Adapun karakteristik khusus ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut (Wiharto, 2005): (1) disusun secara metodis, sistematis, dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dengan kenyataan (realitas), dan (2) Dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Unsur penting ilmu pengetahuan adalah penataan secara terperinci dan mampu memperjelas sebuah bidang pengetahuan.
Semakin dalam ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas) semakin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan. Semakin dalam pencarian kebenaran suatu fenomena semakin cermat pula ilmu itu. Prinsip-prinsip metodis dan kejelasan ilmu merupakan rangkaian berpikir filsafat (Wiharto, 2005).
Eksistensi (kebenaran) ilmu pengetahuan sangat penting dijabarkan ketika melakukan pembahasan tentang ilmu pengetahuan. Salah satu eksistensi (kebenaran) ilmiah pengetahuan adalah kebenaran ilmiah. Terdapat lima teori tentang kebenaran ilmiah yang disampaikan oleh Michael William, yaitu kebenaran koherensi, korespondensi, pragmatis, performatif, dan proposisi (Akromulloh, 2018; Atabik, 2014a, 2014b; Tamrin, 2019).
Kebenaran koherensi, suatu pernyataan akan dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya (Tamrin, 2019). Pada teori korespondensi tentang kebenaran ini, kita mengenal dua hal yaitu pertama, penyataan dan kedua, kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri (Hasan & Pananrangi, 2019).
Kebenaran korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang instritisik, internalisasi, terdapat keserasian antara apa yang ada dalam pengetahuan dengan realitas. Jadi kebenaran adalah keserasian dengan fakta, keselarasan dengan realitas dan keserasian dengan situasi aktual (Supardi, 2009; Tamrin, 2019).
Kebenaran pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan menggunakan fungsional. Suatu pernyataan dapat dikatakan benar jika pernyataan tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan umat manusia (Hasan & Pananrangi, 2019; Tamrin, 2019).
Kebenaran performatif, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (pernormatif). Untuk menyatakan suatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsensi (setuju/menerima atau membenarkan) terhadap yang telah dinyatakan. Dengan demikian tindakan performatif tindakan berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari sebuah keadaan faktual. Jadi sesuatu dianggap benar jika memang dapat dilaksanakan dalam tindakan (Tamrin, 2019). Teori ini menyatakan juga bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu (Hasan & Pananrangi, 2019).
Kebenaran proposisi, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materiilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Selain itu juga kebenaran sintesis. Kebenaran sintesis adalah kebenaran yang mengacu pada keteraturan sintesis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran dianggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang dipersyaratkan, maka proposisi tersebut tidak memiliki arti (Atabik, 2014b; Tamrin, 2019).
E. Penerapan Energi Psikologis dalam Filsafat Ilmu Dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Energi psikologis yang berada pada manusia (energi kognitif, energi afektif, dan energi psikomotorik) merupakan sebuah keterpaduan yang dapat diwujudkan dan diterapkan dalam filsafat ilmu dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini memiliki pengertian bahwa filsafat ilmu dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk penerapan energi psikologis.
Energi psikologis memiliki kemampuan untuk mendorong manusia untuk berpikir dan bertanya tentang segala sesuatu yang berada di alam semesta ini, hal ini dapat dilakukan melalui filsafat ilmu karena filsafat ilmu bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kritis terhadap pandangan-pandangan umum, prasangka-prasangka alamiah yang terkandung dalam asumsi-asumsi ilmu sehingga dapat dikatakan bahwa manusia menggunakan energi psikologis untuk terlibat dalam filsafat ilmu. Dengan menerapkan energi psikologis yang dimilikinya, manusia dapat mengoptimalkan fungsi filsafat ilmu dalam mencari dan memperoleh kebenaran.
Hal ini memiliki kesesuaian dengan pendapat Frans Magnis Suseno yang mengemukakan bahwa energi psikologis membantu manusia untuk mengoptimalkan fungsi filsafat ilmu untuk membantu mendalami petanyaan-pertanyaan tentang ilmu atau asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya secara sistematis dan historis, menganalisis secara terbuka dan kritis, menjadi dasar metode dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam mempelajari studi-studi ilmu, memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan analisis dan kritis tajam untuk menyelesaikan masalah-masalah intelektual, spiritual, dan ideologis (Tamrin, 2019).
Menurut Suriasumantri (2007) ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Proses berpikir tersebut dipengaruhi oleh energi psikologis yang dimiliki oleh manusia.
Berpikir bukan satu-satunya cara mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan suatu produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum disebut sebagai berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah tersebut minimal harus memenuhi dua kriteria yaitu harus memiliki alur jalan pikiran yang logis, dan pernyataan logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris.
Pernyataan yang telah teruji kebenarannya akan memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Pemenuhan terhadap dua kriteria minimal tentang berpikir ilmiah hanya dapat dilakukan apabila memperoleh dorongan dari energi psikologis yang dimiliki manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) sehingga manusia mampu untuk menganalis, memahami, mensintesis, dan mengevaluasi proses berpikir ilmiah.
Cornelius Benjamin membagi pokok soal filsafat ilmu ke dalam tiga bidang bahan kajian, yaitu pertama, telaah mengenai metode ilmu dan struktur logis dari ilmu. Telaah ini tentu akan bersinggungan dengan logika dan teori pengetahuan. Kedua, penjelasan mengenai konsep dasar, pra-anggapan, dan pangkal pendirian ilmu, dengan landasan empiris, rasional dan pragmatisatis sebagai tempat tumpuannya.
Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseragaman alam, dan rasionalitas dari proses alamiah. Ketiga, aneka telaah mengenai saling kait di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta, seperti idealisme, materialisme, monisme dan pluralisme (Fadli, 2021).
Menurut Marx Wartofsky menyebutkan bahwa rentangan luas dari soal-soal interdisipliner dalam filsafat ilmu meliputi, yaitu pertama, perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal dan metodologi ilmu. Kedua, persoalan-persoalan ontologi dan epistemologi yang khas bersifat filsafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan anlitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah (Fadli, 2021). Penerapan kemampuan intelektual, emosional, dan psikomotorik sangat diperlukan dalam melakukan perenungan, penelaahan, penganalisaan, dan pengsintesaan ilmu.
Perjalanan manusia dalam mencapai kepuasan yang sempurna cukup panjang, pelik, dan berliku-liku. Adapun kepuasan itu sendiri masih bersifat sangat relatif karena rasa puas untuk seseorang belum tentu puas bagi orang lain. Hal itu disebabkan oleh kepuasan dapat ditinjau dari berbagai sudut, yaitu dapat ditinjau dari sudut kebendaan dan dari sudut non kebendaan. Sedangkan perbedaannya ada pada cara memperoleh pemenuhan kepuasan itu.
Ada cara pemenuhan kepuasan yang objektif dan adapula cara yang subjektif, cara yang objektif dipakai dalam ilmu dan dinamakan dengan cara kerja ilmiah. Hal ini berarti cara kerja yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan berpikir, baik berpikir secara teoritis, mendalam, dan luas, maupun dengan penelitian yang terencana dan terarah (Idris, 1996). Meskipun manusia belum dapat menjamah keseluruhan persoalan hidup dengan cara kerja ilmiah, usaha dengan cara kerja ilmiah itu sudah membawa perkembangan dan kemajuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
Cara kerja ilmiah yang senantiasa menggunakan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir, kemampuan emosional, dan kemampuan untuk menerapkan hasil berpikir ilmiah tersebut dihasilkan oleh energi psikologis yang dimiliki manusia yaitu energi kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini merupakan salah satu bentuk penerapan energi psikologis dalam pengembangan ilmu pengetahuan manusia (Tamrin, 2019).
Pada dasarnya, terjadinya perkembangan ilmu dan teknologi dengan pesat itu dikarenakan oleh hasrat/rasa ingin tahu (curiosity) yang dimiliki oleh manusia dan dapat dinyatakan sebagai modal yang sangat berharga. Rasa keingintahuan manusia ini juga berasal dari energi psikologis yang dimiliki manusia terutama energi koginitif.
Manusia yang tidak memiliki rasa ingin tahu akan cenderung bersifat statis, jenuh dan tidak normal sehingga belum bisa dikatakan sebagai manusia normal. Sepanjang masa hidupnya, manusia akan senantiasa mengalami berbagai pergulatan di dalam pikirannya yaitu di antara kemunculan berbagai pertanyaan dan pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, walaupun pertanyaan tersebut bersifat sederhana baik bentuk maupun kualitasnya. Hal ini merupakan penerapan energi psikologis dalam mencari kebenaran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga secara filosofis, para filsuf menyebut manusia sebagai makhluk tukang tanya. Akan tetapi, energi psikologis inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Hasrat ingin tahu itu, memungkinkan manusia untuk mempergunakan indera dan kemampuan berpikirnya untuk kepentingan mengenal dan memahami segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada di lingkungan sekitarnya. Persentuhan indera manusia dengan alam akan menghasilkan pengetahuan dan pengalaman. Pengalaman-pengalaman khusus yang dialami oleh banyak manusia sebagai pengalaman yang sama menjadi pengalaman yang bersifat umum dan akan berlaku umum pula.
Pengalaman umum tersebut tidak hanya bersifat individual tetapi bersangkutan dengan lingkungan luar (Tamrin, 2019). Secara historis jiwa manusia baik secara individual maupun keseluruhan berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi/fiktif, tahap metafisis/abstrak dan tahap positif atau riil. Oleh karena itu, masih menurut Tamrin (2019) masyarakat yang sudah maju seperti sekarang ini, sesuatu itu disebut benar sebagai kenyataan ilmiah apabila sesuatu itu telah mencapai tahapan ketiga yang bersifat jelas, pasti, konkrit, akurat, dan bermanfaat.
Kerangka kebenaran yang digagas oleh Auguste Comte dengan hukum tiga tahapnya itu, mengemukakan bahwa untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya, manusia menggunakan beberapa pendekatan. Salah satu pendekatan tersebut adalah filsafat ilmu dan ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu menyelidiki tentang pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya.
Pengetahuan yang memuaskan, pada gilirannya akan menjadi pengalaman yang benar, yang kemudian disebut dengan istilah kebenaran. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami, mengolah, dan menghayati tersebut memerlukan energi psikologis yang mampu mendorong itu semua. Hal tersebut merupakan bentuk penerapan energi psikologis berupa energi kognitif dan afektif pada filsafat ilmu dan pengembangan ilmu pengetahun (Tamrin, 2019).
Teknologi merupakan serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek atau kecakapan tertentu yang ditujukan unetuk melakukan penerapan pengetahuan ilmiah yang diperoleh dari hasil proses berpikir ke alam. Teknologi merupakan salah satu bentuk penerapan energi psikomotorik yang terdapat tubuh manusia untuk melakukan gerak fisik dalam mewujudkan kebenaran ilmiah (Tamnburaka, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Akromulloh, H. (2018). Kebenaran ilmiah dalam perspektif filsafat ilmu. Majalah
Ilmu Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 21(1), 48–64.
Amiruddin. (2013). Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Filsafat Ilmu Dan
Al-qur’an. Ijtimaiyya, 6(2), 19–48.
Aryati, A. (2018). Memahami Manusia Melalui Dimensi Filsafat (Upaya
Memahami Eksistensi Manusia). EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir
Hadis, 7(2), 79.
Atabik, A. (2014a). Pengertian Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah
Kerangka untuk Memahami Kontruksi Pengetahuan Agama. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma, 2(1), 253–271.
Atabik, A. (2014b). Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu. Fikrah,
Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 2(1), 253–271.
Darwis, & Tantu, H. (2016). Filsafat ilmu PKLH (Darwis (ed.);
1st ed.). Alauddin University Press.
Fadli, M. R. (2021). Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan dan
Relevansinya Di Era Revolusi Industri 4.0 (Society 5.0). Jurnal Filsafat,
31(1), 130.
Fahrurozi, M. (2010). Energi Psikologi.
https://fpsi.gunadarma.ac.id/psikologi/articles/detail/ 15/Energi-Psikologi
Hamalia, S. (2015). Eksistensi energi spiritual dakam konversi agama. Jurnal
Al-Adyan, X(1), 51–66.
Hasan, K., & Pananrangi, A. (2019). Memahami Kebenaran Dalam
Perspektif Filsafat Administrasi. Meraja Journal, 2 No. 1(1),
57–68.
Hidayat, A. R. (2018). Sinergitas Filsafat Ilmu Dengan Khazanah
Kearifan Lokal Madura. http://repository.iainmadura.ac.id/67/1/
Idris, S. (1996). Kebenaran Ilmiah Menurut Perspektif Filsafat Ilmu. Filsafat,
123(December), 124.
Makhmudah. (2018). Hakikat ilmu pengetahuan dalam persprektif Modern dan
Islam. Al Murabbi, 4(2), 202–217.
Mandailing, M. T. (2013). Mengenal filsafat lebih dekat. Yogyakarta:
UIN Suka [Universitas Islam Negeri Sunan …, 160.
Nawawi, H. (2010). Filsafat Ilmu (H. Nawawi (ed.); 1st ed.).
Saleh, H. (2014). Filsafat Manusia (Studi Komparatif antara Abdurrahman
Wahid dan Murtadla Muthahhari). UIN Syarif Hidayatullah Jkaarta.
Supardi. (2009). Filsafat, ilmu, dan ilmu sosial (Supardi (ed.);
1st ed.). Universitas Negeri Yogyakarta.
Suriasumantri, J. S. (2007). Filsafat ilmu sebuah pengantar populer
(J. Suriasumantri (ed.); 20th ed.). PT Pancaraintan Indahgraha.
Tamnburaka, R. E. (2002). Pengantar ilmu sejarah, teori filsafat
sejarah, sejarah filsafat dan IPTEK (R. E. Tamburaka (ed.); 1st ed.). PT
Rineka Cipta.
Tamrin, A. (2019). Relasi Ilmu, Filsafat dan Agama Dalam Dimensi Filsafat
Ilmu. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 6(1), 71–96.
Wahana. (2016). Filsafat ilmu pengetahuan. Penerbit Pustaka
Diamond.
Wiharto, M. (2005). Kebenaran Ilmu, Filsafat dan Agama. Forum Ilmiah
Indonusa, 2(3), 1–10.
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.