-->
  • Resensi Buku A Diary of Genocide

     

    Resensi Buku Diary of Genocide

    Jutaan titik air jatuh membasahi hamparan bumi pagi ini, membentuk harmoni suara alam yang begitu syahdu dan damai. Hujan adalah hadiah dan rahmat Sang Kuasa untuk seluruh makhluk-nya. Selain itu hujan juga merupakan sebuah fenomena alam yang begitu indah dan menginspirasi.

    Tapi tidak, bagi ribuan rakyat Palestina yang harus hidup di pengungsian. Saat tidak ada pemukiman yang layak bagi mereka setelah rumahnya roboh dihantam misil penjajah.Permohonan mereka yang dipanjatkan kepada Allah selain meminta agar perang segera berakhir. Mereka juga meminta agar musim dingin tahun ini ditunda kehadirannya.

    Bagi mereka yang harus hidup di bawah tenda darurat dan tidur di atas tanah dengan matras dan selimut seadanya. Dalam keadaan lapar, terluka dan sedih karena harus menderita banyak kehilangan. Udara dingin dan hujan pastinya sangat menyiksa.

    Itu adalah salah satu penderitaan rakyat Palestina yang harus menjalani hari-hari mereka dengan penuh ketidak pastian di bawah hujan peluru. Yang diceritakan Atep dalam bukunya yang berjudul A Diary of Genocide

    Judul Buku : A Diary of Genocide (Catatan Pembantaian Palestina 7Oktober – 30 Desember 2023 | Penulis :  Atef Abu Saif ( Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina) | Penerjemah : Nadya Andwiani | Penerbit : Noura Books PT. Mizan Publika |Tahun Terbit: 2024, Maret Cetakan I| Jumlah Halaman : 400 halaman

    Resensi Buku A Diary of Genocide


    Kunjungan Ke Jalur Gaza

    Atef tidak pernah mengira ketika ia meninggalkan kantornya yang berada di Ramallah  pada sore hari tanggal 5 Oktober 2023, untuk menghadiri hari Warisan Nasional di Jalur Gaza bersama seorang putranya yang bernama Yaser. Membuatnya harus berjibaku selama 90 hari diantara hidup dan mati, terjebak di tengah peperangan yang begitu dahsyat.

    Menteri Kebudayaan Palestina yang juga seorang penulis ini, lahir dan besar di Kamp Jabalia. Dalam rentang usia kehidupannya selama 50 tahun di dunia, ia telah mengalami beberapa kali perang. Tetapi ia merasakan perang kali ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tufanu Al- Aqsha, sebagai perang paling dahsyat yang pernah ia rasakan.

    Ketika ia melihat semua bangunan dihancurkan termasuk sekolah, rumah sakit, kantor berita dan seluruh fasilitas penunjang kehidupan rakyat sipil lainnya dihancurkan. Ia menyimpulkan bahwa ini adalah pembantaian bukan perang.

    Masyarakat Palestina harus menjalani hari dengan berbagai keterbatasan. Untuk mendapatkan sebungkal kecil roti saja harus antri berjam-jam. Begitupun untuk mendapatkan air bersih, mereka harus bekerja keras mengangkut  bergalon-galon air karena tidak ada listrik yang dapat menghidupkan pompa.

    Antrian lainnya yang tidak kalah panjang di Jalur Gaza adalah antrian untuk mendapatkan BBM. Atef menceritakan sampai ada pemilik salah satu  pangkalan BBM dengan susah payah mengusir mereka yang antri.

    Karena ketiadaan bahan bakar, banyak penduduk Palestina menggunakan minyak goreng untuk melajukan kendaraannya. Kebayang pasti bau sangit menguar dimana-dimana.

    Resensi Buku A Diary of Genocide


    Peradaban Mundur

    Bagi masyarakat moderen keberadaan listrik dan sinyal internet merupakan sarana vital untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika dua elemen itu tiada, peradaban seolah mengalami kemunduran.Kembali pada masa berpuluh-puluh tahun silam.

    Malam-malam mereka begitu sepi, hanya terdengar ledakan demi ledakan misil yang begitu meresahkan. Mereka hanya bisa menerka dimana kira-kira senjata penjajah itu dijatuhkan dan bangunan apa yang dihancurkan.

    Rakyat Palestina begitu gemar mendengarkan berita sejak 75 tahun silam saat Israel merebut tanah dan rumah-rumah mereka. Mereka senantiasa menantikan kabar kapan tanah-tanah itu akan kembali.

    Saat tidak ada internet dan listrik, Pak menteri ini harus merayu ayahnya agar mau meminjamkan koleksi radio antiknya,  demi mendapatkan sepotong informasi untuk  mengetahui keadaan yang sesungguhnya.

    Kemunduran peradaban bukan hanya terjadi saat mereka ingin mendapat informasi. Para wanita yang biasanya menggunakan gas untuk memasak. Kini mereka harus  kembali menggunakan kayu bakar untuk membuat roti dan menjerang air untuk membuat roti atau teh. Dan harga kayu bakar pada masa perang ini sangat mahal.

    Tetep ya hukum ekonomi berlaku, jika permintaan banyak sedang pasokan terbatas maka harganya jadi mihil.

    Bahkan ada seorang penulis sampai harus membakar satu persatu koleksi buku dan hasil karyanya. (Ini sih sedih banget)

    Resensi Buku A Diary of Genocide


    Tidak Akan Mengungsi

    Pada awalnya Atef bertekad tidak akan mengungsi ke daerah Selatan seperti yang diperintahkan Israel. Tetapi melihat keadaan di Jalur Gaza yang luluh lantak dan korban jiwa yang begitu banyak akibat akibat serangan darat yang dilakukan Israel.  Akhirnya Atef bersama Yaser dan mertuanya memutuskan untuk pergi ke Rafah. Sedangkan ayahnya, Abu Atef, bersikeras untuk tetap tinggal.

    Perjalanan para pengungsi menuju Rafah ini, penuh kesedihan.  Mereka pergi meninggalkan rumah hanya dengan baju yang melekat di badan. Tidak ada barang yang bisa dibawa, ditambah lagi Atef harus membawa mertuanya yang sudah lanjut usia dengan kemampuan mobilisasi yang sudah sangat terbatas.  

    Saya tuh sempat degdegan ketika mereka melintasi pos pemeriksaan tentara Israel.

    “jangan-jangan mereka tidak bisa lewat”, pikir saya. Karena para tentara itu memanggil secara acak siapa aja, yang mereka curigai.

    Rafah kebanjiran pengungsi yang berdatangan dari berbagai daerah, tidak lama kamp-kamp darurat pun terbentuk. Berupa deretan tenda-tenda putih sederhana.

    Bersyukur dan Bersyukur

    Setelah membaca buku ini, saya jadi lebih bisa memaknai mengapa para founding parent kita mengawali pembukaan UUD 45 diawali dengan kalimat “Berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…..”. Kalimat itu menunjukan rasa kebersyukuran yang luar biasa ketika akhirnya bangsa Indonesia dapat menggengam kemerdekaan.

    Menyimak cerita hari-hari yang dilalui Atef bersama seluruh penduduk Palestina di bawah hujan peluru dalam Diary of Genocide. Saya tuh rasanya malu banget untuk hidup banyak ngeluh. Saat masih punya rumah untuk ditinggali, makanan hangat yang tersaji di atas meja makan, minuman segar untuk menghilangkan haus, kasur empuk untuk ditiduri. Bagi orang Palestina dapat bertahan hidup saja adalah sebuah anugerah.

    Resensi Buku A Diary of Genocide


    Mengapa Diary of Genocide Dihadirkan?

    Membaca buku setebal empat ratus halaman ini, sungguh mengharu biru. Karena ini adalah pengalaman langsung yang dialami penulis dan ditulis sendiri. Melalui kalimat-kalimat yang dirangkai penulis, yang karya-karyanya kerap menyabet penghargaan internasional ini. Pembaca dapat merasakan suasana kebatinan yang dialaminya dengan begitu nyata.

    Bagaimana ia harus kehilangan 80 orang anggota keluarganya, menyaksikan rumah masa kecilnya yang penuh kehangatan dan kenangan manis, rata dihantam misil penjajah. Begitupun dengan kampung halaman yang ia kenali setiap detailnya kini hancur tak bersisa.

    Buku ini ia tulis karena ingin orang-orang mengetahui kejadian yang sebenarnya di Gaza, ia ingin ada kronik kejadian seandainya ia mati.

    Kisah yang dibagikan Atef di Diary of Genocide ini terentang antara 7 Oktober sampai 30 Desember 2023 yaitu 90 hari, karena selepas itu Atef dan putranya dapat keluar dari Jalur Gaza.

    Jadi apa kabarnya mereka kini, ketika perang telah berlangsung selama ratusan hari?

    Ya Allah anugerahkanlah kemerdekaan bagi negara Palestina.

     

  • You might also like

    16 comments:

    1. Diary of Genocide yang ditulis dengan penulis yang mengalami secara langsung kejadian di Jalur Gaza ini pasti luar biasa. Mix feeling banget pas baca.
      Ada perasaan sedih, terharu dan serasa ikut merasakan betapa sulitnya hidup di masa terjajah.

      Semoga Israel segera hengkang dari Jalur Gaza.

      ReplyDelete
    2. buku seperti ini sangat penting karena dapat menjadi sebuah catatan sejarah yang langsung ditulis oleh korban atau yang mengalami konflik. karena biasanya sejarah-sejarah besar ditulis oleh pihak pemenang atau penjajah, sehingga sudut pandangnya tentu saja juga berbeda.

      ReplyDelete
    3. aku sepertinya gak sanggung kak kalo harus baca 400hal cerita tentang genocide yang dialami rakyat palestina...baca sepintas2 aja rasanya sedih banget apalagi harus baca sedetail itu...memang yaa kita harus lebih banyak bersyukur lagi disaat kita merasa kurangtapi ternyata ada sodara kita yang jauh lebih menderita lagi karena genocida ini :(

      ReplyDelete
      Replies
      1. Sammma Kak. Aku baca reviewnya aja udah merinding. Di luar nalar aku membayangkan penderitaan bangsa Palestina. Tanahnya makin sempit, dijajah, malah dibasmi juga...
        Sementara negara-negara sekitarnya woles cuek ajah...

        Delete
    4. Pasti mengharu biru bacanya, apalagi ini pengalaman yng ditulis sendiri penulis tentang genocide. Empat ratus halaman yang diceritakan dari sudut pandang korban yang mesti disiarkan pada semua agar ikut merasakan kekejaman yang menimpa saudara-saudara kita di Palestina

      ReplyDelete
    5. Sebenarnya ini buku yang sangat bagus karena berdasar pengalaman penulisnya sendiri tapi terus terang aku ngak sanggup membacanya karena sudah terbayang gimana sakitnya kondisi yang dialami rakyat palestina, entah sampai kapan akan berakhir, semoga Palestina menjadi negara yang merdeka dan semua kekerasan ini bisa diakhiri.

      ReplyDelete
    6. Melihat cerita yang harus dialami penduduk Gaza lewat sosmed saja rasanya sudah cukup membuat air mata bercucuran Mbak. Emosi campur aduk. Ada kesal dan marah juga karena kita tak bisa berbuat banyak :( Belum lagi puluhan ribu korban anak-anak, wanita, dan lansia. Diary of Genocide karya Atef ini pasti sangat dalam ya, karena ditulis langsung oleh beliau yang berada di Gaza.

      ReplyDelete
    7. Paling gak sanggup baca buku soal peperangan, langsung terbayang betapa mengerikan apabila berada di sana. Semoga peperangan dan kekerasan yang terjadi bisa berakhir.

      ReplyDelete
    8. Buku yang makin membuka mata kita bahwa genosida itu sangat berbahaya dan menyengsarakan

      ReplyDelete
    9. Mereka perang tak berkesudahan ya. Semoga allah melindungi dan menguatkan mereka. Kalau ingat palestina jadi ingat harus banyak bersyukur

      ReplyDelete
    10. Judulnya sedih banget ya ampuunn. Setelah melihat berita-berita dari media sosial, kalau baca buku ini pasti perihnya makin terasa :'(

      ReplyDelete
    11. ya Allah jduulnya bikin tertohok banget karena genosida di depan mata tapi ngga bisa ngapa ngapain, cuma bisa bantu doa dan bantuan dana yang disalurkan lewat lembaga/yayasan kemanusiaan. semoga aja bantuannya tersampaikkan dgn baik :(( btw bukunyaa pengen baca jugaa :(

      ReplyDelete
    12. Pengin banget baca buku Diary of Genocide, baca judulnya saja sudah merinding, apalagi menyimak barisan kata yang muncul dari pengalaman langsung penulisnya. Tentang Palestina selalu bikin hati teriris. Semoga Allah selalu menjaga saudara kita di sana.

      ReplyDelete
    13. Ya Allah baca buku ini kayaknya bisa bikin nangis bombay dan kepikiran terus dengan saudara kita di palestina yang masih terus diserang oleh Israel. semoga saja Allah segera memberikan kemerdekaan bagi mereka

      ReplyDelete
    14. Omg, baca buku ini pasti mewek terus ya mbak
      Sedih banget klo inget nasib rakyat Palestina
      Mereka bertahun tahun dijajah

      ReplyDelete
    15. aku belum berjodoh sama buku ini. Hiks. Tapi semoga kelak Allah mudahkan bisa membaca buku ini.
      Semoga Allah segerakan kemerdekaan mereka.

      ReplyDelete

    Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.