-->
  • Resensi Buku Untuk Negeriku (Berjuang dan Dibuang) sebuah Otobiografi Mohammad Hatta

     

    Resensi Buku Untuk Negeriku (Berjuang dan Dibuang) sebuah Otobiografi Mohammad Hatta

    Berjuang dan Dibuang merupakan jilid kedua dari trilogi Untuk Negeriku otobiografi Mohammad Hatta. Jika didalam jilid sebelumnya Bung Hatta berkisah tentang masa kecilnya, keluarganya, dan pendidikannya,

    Pada jilid kedua ini beliau bercerita tentang kiprahnya dalam dunia politik di Indonesia. Setelah menempuh pendidikan di Belanda selama sebelas tahun.

    Judul Buku : Berjuang  dan Dibuang | Penulis : Mohammad Hatta | Penerbit : PT Kompas Media Nusantara | Tahun Terbit : 2022, Cetakan Kesepuluh | Jumlah Halaman : 192 Halaman | ISBN : 9786024124229 |

    Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)

    Pada tanggal 20 Juli 1932 Mohammad Hatta meninggalkan negeri kincir angin untuk pulang ke Indonesia dengan menggunakan kapal melewati Paris dan Genoa. Walaupun menyandang gelar sebagai sarjana ekonomi, ia menolak tawaran untuk menjadi sekertaris direksi pada sebuah perusahaan ketika sampai di Jakarta.

    Sebagai orang pergerakan, Ia lebih memilih bergabung dengan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru). Sebagai alat perjuangan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.  

    PNI baru ini mewarisi PNI lama yang dibubarkan oleh pengurus besarnya sendiri atas anjuran Mr. Sartono, setelah Ir. Soekarno dan ketiga kawannya dipenjara oleh pengadilan Bandung. Kemudian mereka mendirikan Partai Indonesia (Partindo).

    Pendidikan Rakyat

    Bukan tanpa alasan atau karena khilaf, Bung Hatta menamakan partai baru ini Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Dari awal organisasi politik yang digawanginya ini, bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada rakyat terjajah untuk membentuk kesadaran sebagai rakyat yang berdaulat.

    Dalam pandangan Partai Pendidikan Nasional Indonesia, kesadaran itu sangat penting dimiliki oleh rakyat karena mereka adalah jiwa bangsa. Nasib rakyat harus ditentukan oleh mereka sendiri baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi.

    Partai Pendidikan Nasional Indonesia paham betul, jika kesadaran ini telah tertanam pada rakyat. Maka akan timbul semangat MERDEKA, bebas dari cengkraman penjajah.  

    PNI baru ini juga menampilkan diri sebagai partai kader yaitu partai yang mengandalkan pada aspek kualitas anggota/ kader, kedisiplinan, ketaatan organisasi. Partai ini mendidik para kadernya dengan memberikan kursus kader, agar mereka menjadi tahan uji, dapat menjadi contoh, tidak takut dipenjara atau dibuang.

    Untuk menjadi anggota Partai Pendidikan Nasional, anggota baru harus menjalani ujian terlebih dahulu.

    Pokok-pokok ujian yang diberikan adalah :

    1. Sejarah umum Indonesia secara garis besarnya, terutama sejarah pergerakan timbulnya  Boedi Oetomo dengan mengetahui perbedaan antara politik kooperasi dan non-kooperasi.

    2. Imperialisme dan pertumbuhannya.

    3. Kapitalisme dan perkembangannya

    4. Kolonialisme

    5. Kedaulatan Rakyat.

    Bahan bacaan bagi yang bertugas memberikan kursus :

    1. Daulat Ra’jat

    2. Mohammad Hatta, Indonesia Vrij.

    3. Mohammad Hatta, Tujuan dan Politik pergerakan Nasional Indonesia

    4. Soekarno, Indonesia Menggugat.

    Ketika Konsistensi Perjuangan Bung Hatta Dipertanyakan

    Bung Hatta dari  awal, bahkan sejak mahasiswa dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia. Ia  telah  menetapkan akan berjuang secara secara non-kooperasi yaitu tidak mau bekerjasama dengan pemerintahan jajahan dan  menolak Schjin Parlemen, Dewan Rakyat palsu,  yang diciptakan oleh pemerintah untuk mengelabui rakyat di negeri jajahan.

    Ia juga merupakan penentang keras terhadap orang-orang yang menyamakan non kooperasi dengan anarkisme. Menurutnya non kooperasi merupakan taktik yang menarik garis dengan jelas antara sana dan sini untuk membangun semangat rakyat agar sanggup mendirikan masyarakatnya sendiri.

    Namun ketika menerima telegram pada tanggal 8 Desember 1932 dari Onafhankelije Sosialistische PartiJ (SPO), Partai Sosialis Kiri Belanda, yang menawarkan kepada dirinya untuk menjadi anggota Tweede Kamer semacam dewan perwakilannya Belanda. Putra Minang ini dituduh tidak konsisten dengan sikapnya.

    Dalam majalah Persatuan Indonesia No. 159 terdapat sebuah lampiran yang berjudul “Topengnya Drs. Moh. Hatta Terbuka! Pemimpin PNI Mau Djadi Lid Tweede Kamer! Awas Ra’yat Indonesia!. Artikel tersebut mengatakan bahwa Moh. Hatta dan golongan Socialis Merdeka atau onafhankelijen yang memintanya menjadi wakil di dalam badan imperialis sejati terdapat suatu hubungan yang erat .

    Berita itu juga mengatakan bahwa Moh Hatta sudah menerima tawaran tersebut sehingga kampiun non kooperasi ini telah menjadi anggota perwakilan imperialis Belanda. Sehingga Moh Hatta akan duduk disamping kaum minyak, gula dll.

    Menanggapi berita tersebut Moh. Hatta mengklarifikasinya dengan menerima wawancara dari koresponden Utusan Indonesia dan Sin Po. Dalam wawancara tersebut Moh. Hatta mengatakan, ia belum menerima penawaran tersebut karena  sebagai anggota Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) tidak bisa memberikan jawaban sebelum mengadakan rapat dengan PO PNI.

    Selain itu ia juga menerangkan bahwa garis perjuangan non kooperasi merupakan pemboikotan terhadap dewan-dewan yang bukan Dewan Rakyat yang berada di negeri jajahan. Sedangkan Tweede Kamer Belanda adalah sebuah parlemen yang dipilih oleh rakyat yang mempunyai hak untuk memilih (algemeen kiesrecht). Selain itu Tweede Kamer  tidak terdapat di negeri jajahan sehingga jika dipandang perlu bisa digunakan untuk menyerang kolonial imperialisme.

    Dalam wawancara itu juga Bung Hatta juga menolak anggapan bahwa tawaran PSO  terhadap dirinya untuk menjadi anggota Tweede Kamer sebagai upaya untuk menaikan suara partai tersebut. Karena sejak awal Partai sosialis kiri itu telah memiliki pendirian politik yang ajeg bahwa politik Indonesia harus ditangani oleh orang Indonesia sendiri sebab orang Indonesia yang paling memahami kemauan bangsanya sendiri.

    Sikap tersebut juga bukan suatu dukungan yang diberikan secara sukarela tetapi berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri. Beberapa kali pemimpin partai sosialis kiri itu mengatakan adanya tanah jajahan membahayakan bagi kaum buruh Eropa karena rakyat jajahan itu dijadikan reserse army oleh kapitalisme dan imperialisme penindas kaum buruh barat.

    Apakah Bung Hatta akhirnya menerima tawaran itu?

    Dibuang ke Boven Digul

    Saat Bung Hatta bersama pamannya pergi ke Jepang untuk kunjungan bisnis, di sana Gandhi of Java ini disambut dengan sangat baik oleh para pembesar negeri sakura itu. Mulai dari pemimpin militer sampai walikota mengajaknya untuk makan malam.

    Hal tersebut menerbitkan kecurigaan pamannya, sehingga ia diingatkan untuk berhati-hati dalam bersikap. Menurut pamannya sikap mereka seperti itu pasti ada maksud tersembunyi dibaliknya, mengingat Hatta adalah seorang pemimpin pergerakan di Indonesia yang sangat berpengaruh.

    Sementara itu di tanah air, polisi Belanda secara membabibuta menangkapi orang-orang yang terlibat aktif dalam pergerakan.  Penangkapan tersebut berdasarkan pada pelanggaran Pasal 153 bis dan ter.

    Penangkapan semakin hari semakin meluas, walaupun pergerakannya semakain terbatas. Tetapi perjuangan Bung Hatta tidak surut. Ia terus menyuarakan perlawanannya melalui tulisan-tulisannya di majalah.

    Pada tanggal 25 Mei 1934 Bung Hatta bersama Sjahrir dan Bondan ditangkap dan ditahan Hoofdbureau van Politie sampai tanggal 1 Maret dan pada permulaan bulan Desember 1934 keduanya dipindahkan dari penjara ke Glodok ke penjara Struyswijk (Gang Tengah), tahanan sementara bagi orang-orang yang akan dimajukan ke pengadilan.

    Pada Minggu pertama Bulan Januari 1935 masih bersama Bondan, Bung Hatta diperintahkan untuk bersiap-siap untuk dibawa ke Tanjung Priok kemudian diberangkatkan ke Boven Digul dengan menggunakan KPM Melchior Treub. Dan tiba  disana pada tanggal 28 Januari 1935.

    Para tahanan politik di Boven Digul ditempatkan pada sebuah perkampungan yang disebut Kampung Tanah Merah. Pada saat itu warga Kampung Tanah merah terbagi menjadi dua bagian yaitu

    1. Golongan Naturalis

    Golongan Naturalis yaitu orang-orang  yang tidak mau bekerja pada pemerintah, setiap bulan mereka mendapat makanan secara natural dari pemerintah setempat setiap bulan berupa 18 kg beras, 2 kg ikan asin, 300 gram the, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limonade minyak kelapa.

    2. Golongan Werkwilig

    Golongan Werkwilig yaitu orang-orang yang mau bekerja pada pemerintah dengan upah 40 sen setiap hari. Tugas mereka mengerjakan pekerjaan kasar seperti mengcangkul parit, menggali selokan dll.

    Ketika Kapten Van Langen, kepala pemerintahan Tanah Merah, menanyakan kepada Bung Hatta golongan mana yang akan dipilihnya? Bung Hatta tetap tegas dengan garis perjuangannya selama ini yaitu secara non-kooperasi,memilih menjadi golongan naturalis,  walaupun dengan konsekuensi tidak akan dipulangkan kembali untuk selamanya. Tetapi Bung Hatta berkeyakinan bahwa di dunia semuanya bersifat sementara tidak ada yang abadi.

    Selain itu jika ia mau menjadi werkwilig tentu saja sudah dilakukannya sejak di Jakarta. Berbagai jabatan telah ditawarkan oleh pemerintah, seandainya diterima tentu sekarang sudah menjadi “tuan besar” tidak perlu datang ke Boven Digul.

    Book Lovers

    Teman-teman Bung Hatta ini Book Lovers sejati banget, doyan borong-borong dan membaca buku (emangnya aku, lapar mata belinya kapan bacanya kapan wkwkwk). Waktu mau pulang ke Indonesia koleksi bukunya buanyaaak banget, yang dibawa ke Indonesia hanya 16 peti besi masing-masing berukuran setengah kubik. Sisanya dibagikan kepada teman-temannya.

    Saking cintanya kepada ilmu pengetahuan si 16 peti besi buku itu, dibawa juga ke Boven Digul lho teman-teman. Luar biasanya lagi di dalam penjara pun masih bisa menulis buku dan saat menjalani pembuangan di Boven Digul,  Bung Hatta masih aktif menjadi kontributor sebuah surat kabar.

    Selain itu para pendiri bangsa kita itu sangat menghargai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan, ketika anak angkatnya Sjahrir (Bung Hatta dan Sjahrir sempat tinggal bersama dalam satu rumah ketika menjalani pembuangan di Banda Neira) yang masih kecil menumpahkan air dan merusak buku. Sjahrir sampai bela-belain pindah rumah lho. Luar biasa keren.

    Idola

    Setelah membaca buku ini, saya menjadi sadar mengapa banyak yang mengidolakan Bung Hatta. Beliau pembelajar sejati, sabar, dan tegas. Dalam gejolak politik begitu luar biasa tidak jarang mendapat serangan atau hasutan dari sesama para pejuang tetapi beliau selalu menjawabnya dengan argumen yang briliant.

    Saya juga kagum dengan Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang digawangi oleh Mohammad Hatta. Partai ini sukses mendidik para kadernya menjadi manusia tangguh. Terbukti ketika Bung Hatta dan anggota partai lainnya ditangkap. Partai ini tetap eksis bergerak majalahnya juga tetap terbit seperti biasa. Tidak seperti partai lain, ketika pemimpinnya ditangkap bubar sudah baik partai maupun majalahnya.

    Membaca buku ini, seperti membaca buku harian berbalut sejarah. Walaupun Bung Hatta hidup pada era zaman kemerdekaan tapi tenang aja, buku ini ejaannya sudah disesuaikan kok. Jadi enggak bingung.

    Ya kalau ada satu dua diksi-diksi yang sudah agak kurang sesuai ejaan sekarang, tapi tidak mengganggu kok, masih bisa dimengerti. Cuma kadang belibet aja kalau harus membaca istilah-istilah bahasa Belanda. Over all menurut aku buku ini harus kalian baca deh.

    Yu lanjut ke buku ketiganya….

  • You might also like

    No comments:

    Post a Comment

    Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.