Novel
As Long As Lemon Trees Grow karya Zoulfa Katouh menarik perhatianku gara-gara ada
seorang bookstagrammer. Menasbihkan
buku ini dalam postingannya, sebagai salah satu buku yang paling menyentuh hati
versi dia.
Melihat
unggahan tersebut, saya jadi kepo. As Long As Lemon Trees ini bercerita tentang
apa sih? Setelah googling ngintipin ulasannya para book lovers.
Ternyata buku ini berkisah tentang seorang gadis yang terjebak dalam perang di
kota Homs, Suriah.
Terus,
buku ini adalah karya pertama Zoulfa Katouh, yang telah diterjemahkan ke dalam 21
bahasa dan telah mendapatkan berbagai penghargaan. Karya pertamanya aja bisa
sekeren ini, bagaimana karya selanjutnya coba? Luar biasa emang ibu apoteker
yang satu ini.
Salama : Perempuan dan Perang
Peristiwa
Arab Spring yaitu serangkaian protes dan demonstrasi yang terjadi di di Timur
Tengah dan Afrika Utara. Yang dikenal juga sebagai kebangkitan Arab atau
Pemberontakan Arab. Merupakan sebuah gerakan untuk menggulingkan rezim otoriter
dan merubahnya dengan sistem demokrasi.
Semangat
Arab Spring merambat ke sejumlah negara di Timur Tengah, salah satunya adalah
Suriah. Rakyat Suriah turun ke jalan, berdemo besar-besaran memprotes rezim
penguasa otoriter. Para pejuang menamakan diri mereka sebagai Tentara
Pembebasan Suriah.
Rezim
penguasa menjawab protes itu dengan melakukan blokade terhadap kota Homs dan membombardir
kota itu dengan sangat brutal. Serangan tersebut tidak hanya menghancurkan insfrastruktur
kota, juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Zoulfa
Katouh dalam As Long As Lemon Trees Grow, memotret kehidupan Salama yang terjebak
dalam perseteruan politik di negerinya, yang memantik perang saudara.
Perang
itu membuat kehidupan Salama porakporanda. Ia harus kehilangan ayah, ibu dan
Hamza kakak laki-lakinya. Bukan hanya itu, ia juga harus rela mengubur
impiannya di masa depan.
Sebelum
terjadi perang, Salama tercatat sebagai mahasiswa tahun kedua di Akademi
farmasi. Ia memiliki cita-cita ingin mendapatkan nilai akademik yang tinggi.
Kemudian setelah lulus kuliah dapat bekerja pada sebuah rumah sakit bergengsi
sebagai apoteker. Dan ingin jalan-jalan ke luar negeri, melihat dunia di luar
Suriah.
Kini
Salama hidup hanya berdua dengan sahabat yang menjadi kakak iparnya, Layla.
Sebelum ditangkap oleh penguasa, Hamza mengamanatkan kepada adiknya agar
senantiasa menjaga keselamatan perempuan bermata biru itu.
Salama
mengisi hari-harinya dengan mengabdikan diri bekerja sebagai volunteer, di
rumah sakit yang berada di bawah yurisdiksi Tentara Pembebasan Suriah. Walaupun
keadaan rumah sakit itu jauh lebih baik, dibandingkan saat berada di dalam kekusaan
rezim penguasa. Tetapi tetap saja segala fasilitas, tenaga medis, maupun
obat-obatan di rumah sakit itu sangat terbatas.
Oleh
karena itu, tugas Salama bukan hanya sebagai apoteker. Sekarang ia berperan
sebagai dokter yang harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien. Bahkan seringkali
perempuan muda bermata coklat itu, harus berjibaku di meja operasi demi
menyelamatkan nyawa korban penembakan, maupun pengeboman yang setiap hari
mengalir tiada henti.
Berbagai kepahitan hidup yang harus dihadapi dalam kehidupan pribadinya, ditambah dengan janji untuk melindungi keselamatan Layla yang dianggapnya sebagai amanat yang wajib ia tunaikan. Serta hari-hari yang demikian berat yang harus dihadapinya di rumah sakit, membuat Salama mengalami trauma dan sering berhalusinasi.
Sehingga
Salama mempunyai teman imajiner yang bernama Khawf, yang sesungguhnya adalah
pikirannya sendiri. Khawf mulai muncul sejak ibunya meninggal tertimpa
reruntuhan bangunan, ketika bom menghancurkan tempat tinggal mereka.
Salama
menduga hal itu terjadi karena cedera di kepala yang dideritanya, ditambah
dengan PTSD ( Post Traumatic Post Disorder)yang mempengaruhi hubungan antara
brain frontal lobe dengan sensory cortex. Khawf sering memperlihatkan memori
Salama di masa lalu dan juga penyesalan-penyesalannya.
Dia
juga sering memberikan nasihat dan pertimbangan, mengenai sikap atau keputusan
yang mesti diambil oleh Salama. Seperti misalnya saat Salama kesulitan untuk memutuskan
apakah dia akan pergi ke Eropa untuk memulai hidup baru, atau tetap tetap
tinggal di Syria dengan segala resikonya.
Khawf
berpendapat, kondisi Syria sudah sangat berbahaya bagi keselamatan Salama apalagi
Layla yang sedang hamil tua. Dia senantiasa
mendorong dan meyakinkan Salama bahwa apa yang dilakukannya adalah benar.
Apakah
Salama memutuskan akan ke pergi ke Eropa?
Paling
serem dengan kondisi yang dialami Salama, ia bisa notice bahwa Khawf itu
tidak nyata. Tetapi anehnya ia tidak tidak sadar kalau selama lima bulan ia
harus hidup dengan Layla padahal kakak iparnya itu sudah meninggal dunia.
Shownya Keren
Jujur
novel As Long As Lemon Trees Grow ini novel yang lumayan berat, walaupun
tebalnya hanya sekitar empat ratusan halaman tetapi tidak bisa diselesaikan
dengan sekali duduk. Penulis menggambarkan situasi maupun tempat kejadian
dengan sangat detail sehingga kita merasa seolah-olah berada di tempat itu.
As
Long As Lemon Trees Grow dikisahkan dengan menggunakan alur maju dengan POV
orang ketiga. Sehingga beneran deh, kita ikut merasakan apa yang diialami oleh
masing-masing tokohnya.
Saya
tuh ikut marah dan jengkel seperti Salama, ketika Am memanfaatkan penderitaan
orang-orang yang ingin mengungsi ke Eropa dengan mematok harga sewa kapal
demikian tinggi untuk mendapatkan keuntungan besar.
Saya
juga ikut merasakan bahagia saat Layla membayangkan kehidupan mereka di Jerman
yang penuh warna dan kedamaian bersama Salama dan anak yang kini tengah
dikandungnya.
Atau
kegelisahan Kenan saat pria itu bimbang, apakah akan tetap tinggal di Suriah. Berjuang
dengan menggunakan kameranya, mengabarkan kepada seluruh dunia peristiwa yang
terjadi di negerinya tercinta. Atau ia akan menerima ajakan perempuan yang
sangat dicintainya untuk merajut hidup
di tempat baru dengan cita-cita dan harapan seindah lukisan.
Kebetulan
saya membaca novel ini dalam versi bahasa aslinya yaitu bahasa Inggris, jadi
merasakan betul bagaimana penulis merajut kisah perang yang penuh kekerasan dan
kengerian berkelindan dengan romantisme percintaan halal dengan kata-kata
puitisnya yang bikin senyum-senyum sendiri. Seperti penyeimbang gitu, jadi
bikin betah bacanya.
Terus
dalam novel ini juga banyak istilah-istilah medis dan hal-hal yang berhubungan
dengan obat-obatan. Karena novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang
apoteker, yang kebetulan penulisnya juga adalah apoteker beneran. Jadi kemungkinan
informasinya tepat ya, saat Salama menyebutkan misalnya obat X untuk mengobati
penyakit Y.
Tokoh-tokoh
yang ditampilkan dalam novel ini tidak terlalu banyak, jadi dijamin tidak akan
bingung deh dan jadi lebih mengenal karakter masing-masing. Selain Salama tokoh
yang kusukai dalam novel ini adalah Dr. Ziad, yang membuatku kagum dengan sikap
kebapakan dan ketenangannya dalam menghadapi berbagai situasi super horor di
rumah sakit.
Jangan Pernah Berhenti Berharap dan Memiliki Iman yang Kuat
Itulah
pesan yang bisa saya tangkap saat tiba pada halaman terakhir buku ini. Karena
hanya dengan harapan untuk mendapat kedamaian serta kehidupan yang lebih baik
di Eropa . Dan senantiasa beriman terhadap takdir yang telah digariskan Sang
Kuasa.
Salama
bersama Kenan dan kedua adiknya rela mengapung di laut Mediterania yang super
dingin, hanya dengan berbekal pelampung seadanya. Saat kapal kayu nelayan yang
mengangkut para pengungsi dengan jumlah yang melebihi kapasitas, pecah berkeping-keping
dihantam gelombang.
Degdegan
dan sedih banget pas adegan itu. Ikut harap-harap cemas apakah mereka akan
selamat?
Novel
ini juga mengingatkan tidak ada sedikitpun kebaikan dalam perang, selain hanya kesengsaraan,
kehilangan dan kesakitan.
Okh
iya saya suka banget dengan potongan puisi tua karya Nizar Qabbani yang
digunakan para pejuang untuk membakar semangat mereka yang berbunyi
“ Every
Lemon Will Bring Forth a Child, and The Lemon Will Never Die Out”
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.