Saat menjelang Idulfitri
kalau emak-emak lain sibuk bikin kue, nyari toples imut, berburu amplop lucu
buat bagi-bagi THR ponakan, hunting baju Lebaran, war tiket dan
seabreg printilan Lebaran lainnya. Sebaliknya aku malah nyantai, selonjoran
sambil berselancar di jagat maya nyari buku inceran di marketplace, salah
satunya adalah buku berjudul Priangan karya Andries De Wilde.
Buku tersebut menarik
perhatianku saat lewat diberanda media sosial, karena sebagai orang Sunda yang
tinggal di Priangan. Saya merasa mempunyai kedekatan dengan buku ini. Penasaran
aja ingin tahu, bagaimana wajah Priangan pada abad ke 19.
Judul Buku : Priangan (De Preanger Regentschappen op Java Gelegen)|
Penulis : Andries De Wilde | Penerjemah : Karguna Purnama Harya | Penerbit : PT.
Dunia Pustaka Jaya | Tahun Terbit : 2023, Cetakan Pertama | Jumlah Halaman: 188
Halaman|
Keresidenan Priangan
Keresidenan Priangan oleh Andries De Wilde dinarasikan sebagai salah satu bagian dari pulau Jawa yang paling bersih dan paling subur, yang terletak di bagian barat daya pulau ini. Sebelah baratnya berbatasan dengan Bantam dan Buitenzorg, di sebelah utara dengan Ommelands Batavia dan Krawang, di timur dengan Cheribon, dan di selatan dengan Laut Selatan.
Keresidenan Priangan terbagi
ke dalam lima distrik utama (kabupaten) atau dalam istilah belandanya disebut
regentschappen yang secara harpiah berarti kumpulan kabupaten yaitu Tji-
antjur, Bandong, Soemedang, Limbangan dan Soekapoera. Masing-masing wilayah
tersebut dikelola oleh seorang bupati
dibawah arahan Residen Van den Europeschen (perwakilan pemerintahan
Hindia Belanda).
Wilayah keresidenan Priangan
secara umum berlahan basah dan bergunung-gunung. Hampir pada setiap penjuru
mulai dari bagian selatan, barat, kemudian berlanjut ke arah tenggara dan terus berkembang ke arah timur terdapat
barisan-barisan pegunungan panjang.
Diantara barisan-barisan
pegunungan tersebut diantaranya terdapat banyak gunung merapi yang diantaranya
masih aktif. Wilde sendiri pernah menyaksikan kengerian meletusnya Goenong-
Goentoer atau Donderberg (btw aku tuh baru tahu kalau Gunung Guntur itu disebut
juga Gunung Petir). Selama dua tahun berturut-turut dokter bedah yang pernah
menjabat sebagai Asisten Residen di Keresidenan Priangan ini, pernah tinggal di
kaki gunung Goentoer pada ketinggian 2300 kaki di atas permukaan laut.
Teman-teman! cung siapa yang
pernah berwisata ke Gunung Tangkuban Parahu? Itu lho gunung yang dilekatkan
dengan cerita legendaris Sangkuriang (udah ingat?). For your info nih
teman-teman, ternyata orang yang pertama kali mendaki ke gunung ini adalah si
menir Andres De Wilde ini. Sebelumnya tidak pernah ada satupun penduduk pribumi
maupun Eropa yang berani mendaki gunung ini. Kenapa? Saat itu mendaki Gunung
Tankoeban-Prahoe sangat menakutkan, tepi gunungnya yang telah runtuh
dilukisakan sebagai keadaan alam yang sangat suram.
Kawah yang terbentuk akibat
letusan gunung ini berukuran sangat besar, pada lubang yang menganga dikedalaman
tiga ratus kaki, terdapat kolam belerang yang mendidih menggelegak mengepulkan
asap. Asap itu menyeruak ke atas tepi kawah disertai suara bergemuruh seperti
ombak menghantam karang.
Para penduduk lokal
mempercayai bahwa pada setiap fenomena
alam yang terjadi terdapat makhluk gaib yang menguasai tempat tersebut. Oleh karena itu sebelum rombongan mereka mencapai
puncak, para pemimpin ritual dan lelaki tua memisahkan diri untuk mengadakan
upacara ritual. Agar diizinkan oleh “sang penunggu” atau kalau
dalam basa Sunda mah anu ngageugeuh tempat itu, untuk mengunjungi
kediamannya agar mendapat keberkahan,
serta terhindar dari amarah Dallem ratoe yang dipercayai menguasai kawah
menakutkan itu.
Tapi di Gunung
Tankoeban-Prahoe, Wilde tidak hanya menemukan pemandangan yang menakutkan. Dia
juga mendapati pemandangan yang luar biasa indah ketika mengunjungi kawah
gunung yang kedua yaitu Kawa Oppas. Air di Kawa Oppas ini berwarna hijau dan
sangat jernih, dasarnya dilapisi oleh belerang cair yang mengeras dengan
ketebalan setengah kaki pada beberapa tempat dari lantai lava yang padat.
Sedangkan potongan-potongan
lava yang terurai terdapat pada sisi sebaliknya, yang menunjukan kristalissai
belerang sangat indah. Fenomena ini disebut oleh Wilde “Alam menciptakan
keindahan baru yang tak ada di kehidupan sehari-hari, bahkan dari kehancuran
yang terjadi”.
Wilde bukan saja menjadi
orang pertama yang mendaki Gunung Tankoeban-Prahoe, ia pun bersama rombongannya
menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Salak. Gunung yang sepanjang ingatan
manusia belum pernah didaki, namun secara tradisi dipercayai bahwa dipuncak
Gunung Salak terdapat kuburan dan
sisa-siasa zaman Padjadjaran.
Selain bercerita
pengalamannya mendaki sejumlah pegunungan yang keindahannya begitu mempesona
laki-laki kaya raya pemilik perkebunan bernama Soekaboemi yang meninggal dalam
keadaan bangkrut ini. Ia juga mengulas dengan rinci berbagai hasil bumi yang
tumbuh dari tanah Priangan yang sangat subur. Seperti kopi, kentang, rotan,
gula merah, kelapa, berbagai macam kayu dll.
Keadaan sosial masyarakatnya
keresidenan Priangan yang hidup dengan sangat menderita akibat pengabdian
mereka kepada penguasa, juga tidak luput dari perhatian Wilde. Paling menarik
bagiku ternyata cara pengobatan masyarakat Priangan pada abad XIX wow banget
menurutku sih. Pantes aja, pada salah satu channel youtube-nya, gubernur
Jawa Barat Dedi Mulyadi pernah mengatakan ingin memajukan pengobatan
tradisional Jawa Barat agar lebih maju dan berkembang. Emang keren banget.
Wilde juga menerangkan
sejumlah strategi yang telah ia praktikan di perkebunan miliknya kepada
pemerintah kolonial agar dapat mengeruk kekayaan keresidenan Priangan lebih
maksimal.
Pengakuan Penerjemah
Karguna Purnama Harya dalam
pengantarnya mengatakan bahwa ia mengalami sedikit kesulitan ketika
menerjemahkan buku berbahasa Belanda dengan judul De Preanger Regentschappen op
Java Gelegen yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1829 ini. Karena buku ini
bergaya tulisan khas abad 19 dengan kalimat panjang, sehingga untuk menentukan
subjek, kata kerja, maupun kata keterangannya merupakan tantangan tersendiri.
Tata bahasa Belanda juga sangat rumit, berbeda dengan tatabahasa Inggris.
Selain itu karena bukunya tua banget, katanya banyak pisan kata-kata Belanda
pada abad 19 yang susah dicari definisinya saat ini.
Tapi aku salut deh, dengan
segala kesulitan yang harus dihadapi pada saat proses penerjemahannya.
Diksi-diksi yang terangkai dalam buku ini begitu mulus sehingga sangat nyaman
untuk dinikmati. Tatabahasanya rapih dan hampir tidak ada typo yang bikin bete.
Aku juga nambah betah baca
buku ini, karena dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi karya penulisnya
jadi sedikit banyak bisa dibayangkan ya, kondisi Priangan saat itu. Terus
ukuran hurufnya juga pas. Satu lagi yang bikin aku seneng, buku ini menggunakan
kertas hvs yang putih bersih jadi pastinya lebih awet tidak cepat menguning.
No comments:
Post a Comment
Komentar anda merupakan sebuah kehormatan untuk penulis.